Oleh: Perli Rizal
(Ketua DPD APPSI Kabupaten Sukabumi)
Kehadiran pemerintah kepada pelaku usaha kecil, khususnya pedagang di pasar rakyat saat ini nihil. Bahkan bisa dibilang sebagai ‘Pemberontak Ekonomi Rakyat’. Buktinya, minyak goreng melambung tinggi hingga Rp 20 ribu per liter. Belum lagi kebijakan pemerintah yang sempat melarang minyak curah dijual.
Hilangnya minyak curah di pasar rakyat jadi pertanyaan semata. Sebab, bertolak belakang dengan potensi investasi kelapa sawit sebagai bahan minyak goreng yang melimpah di negeri ini. Seharusnya, harga minyak tidak melambung tinggi!.
Di tangan pemerintah, gonjang-ganjingnya harga minyak goreng ini bukan dicarikan solusi agar ekonomi rakyat tumbuh kuat untuk pemulihan ekonomi di masa pandemi covid 19. Pemerintah malah mengeluarkan kebijakan satu harga (14.000/ liter). Dengan cara memberikan subsidi untuk minyak kemasan khusus yang dikeluarkan pemeritah.
Kebijakan itu seharusnya bisa menghidupkan pasar rakyat yang sudah 70 persen oleng dan gulung tikar. dengan cara minyak subsidi didistribusikan khusus untuk toko di pasar rakyat yang lahannya milik pemerintah. Ini malah sebaliknya. Pemerintah menjual kepada ritel dengan alasan ritel memiliki system yang baik sedangkan pasar rakyat masih manual.
Yang padahal, sudah sangat jelas ritel itu bermodal besar tentu bisa bayar kontan berapapun kuota subsidi yang disediakan. Sedangkan pasar rakyat sudah pasti minim modal yang betul-betul harus dibantu (subsidi). Biasanya, di pasar rakyat mati satu nota. Itu sudah lumrah. Jadi, subsidi itu sebenarnya untuk siapa. Ya, untuk masyarakat.
Ok. Dengan dikuasainya minyak bersubsidi oleh ritel hanya membantu dapur pembeli dan kong kali kong dengan investor ritel. Sedangkan dapur pelaku usaha kecil di pasar rakyat nyaris ‘terbantai’ oleh kebijakan itu.
Bukan hanya berdampak kepada pedagang sembako (esensial). Sebaliknya, pedagang non esensial malah paling besar terkena dampaknya. Karena dengan berkurangnya kunjungan warga ke pasar rakyat, tentu menambah sepi juga pembeli non esensial seperti pakaian. karena kalo belanja sembako, tak jarang sekalian belanja yang lain.
Penulis menilai, dengan kebijakan minyak goreng satu harga tapi minyak bersubsidinya dikuasai ritel itu sama dengan mencari untung dari kebijakan dengan cara menyingkirkan pelaku ekonomi di pasar rayat. Coretan ini semoga bisa menjadi surat terbuka untuk Pak Presiden RI, Pak Jokowidodo.
Jika pemerintah betul-betul hadir untuk pelaku ekonomi rakyat, pengadaan minyak bersubsidi itu dikhususkan untuk pedagang di pasar rakyat. Tentu dengan syarat yang jelas. Sehingga perekonomian di pasar rakyat bisa kembali bangkit. Karena, salah satu masalah bisa terjawab. Ya, soal persaingan harga dengan ritel, bukan hanya untuk minyak. Seluruh sembako bersubsidi sebaiknya lewat pasar rakyat milik pemerintah. Seperti telur, beras, daging dan terigu.
Ogahnya masyarakat menengah ke atas berkunjung ke pasar rakyat di antaranya soal harga dan kenyamanan fasilitas dan infrastruktur.
Pemerintah wajib hadir dalam pembinaan, permodalan, memperbaikan infrastruktur, kerapihan, kenyamanan dan persaingan harga. Jangan sampai malah membuat kesan menganaktirikan pasar rakyat dengan kesemrawutan infrastrktur dan harga. Sedangkan menganak emaskan ritel dengan mempermudah izin dan barang subsidi.
Lalu kenapa kami diminta mengikuti kebijakan pemerintah dalam revitalisasi pasar tradisional (kumuh) menjadi pasar semi modern. Para pedagang rela merogoh saku untuk mendapatkan ruko, toko, los dan leprakan agar perekonomiannya membaik. Tentu dengan pembinaan, penataan fasilitas dengan konsisten.
Tapi setelah jadi dan diisi, tolong jangan biarkan kami jalan sendiri. Tolong atur kami. Tolong bantu kami agar kami bisa bayar cicilan dan meraih rezeki halal lewat kebijakan bapak kami (pemerintah) yang berpihak kepada pelaku usaha di pasar rakyat.(*)
Discussion about this post