Oleh: Lilis Suryani
Beberapa waktu yang lalu, komoditas pangan seperti daging sapi mengalami kenaikan harga yang signifikan. Tak ayal hal ini membuat masyarakat mengeluh. Karena bagi sebagian kalangan masyarakat menengah ke atas misalnya, daging sapi merupakan bahan pangan pokok yang harus ada untuk memenuhi gizi harian keluarga. Apalagi bagi para pedagang baso, kenaikan daging sapi berdampak langsung terhadap jumlah produksi dan harga baso itu sendiri.
Adapun, penyebab kenaikan daging sapi ini diperkirakan karena harga sapi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Sementara pasokan sapi lokal belum bisa memenuhi kebutuhan atau permintaan daging sapi masyarakat saat ini. Dilansir laman PikiranRakyat.com (21/01/21), berkenaaan dengan kenaikan daging sapi Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jawa Barat Jafar Ismail mengatakan, sebenarnya ketersediaan daging sapi sendiri ada.
“Kalau masyarakat mau memanfaatkan daging beku yang diimpor (harga relatif stabil) tapi karena masyarakat kita itu apa kecenderungannya menyukai daging yang segar, baru dipotong sehingga ini kecenderungannya jadi naik,” kata Jafar, Kamis 21 Januari 2021.
Realitanya memang kebutuhan sapi warga Jawa Barat, 90% nya masih di datangkan dari luar bukan dari sapi lokal. Untuk sapi impor dari Australia misalnya, ada kenaikan harga yang pada Juli 2020 itu sudah 3,6 Dollar Amerika per kg dan pada bulan Januari-Februari sudah 3,9 Dollar Amerika per kg sapi hidup. Maka, kenaikan harga sapi sejak Juli sampai Januari sudah mencapai Rp13.000 per kg dari harga sebelumnya.
Fenomena kenaikan daging sapi ini ditengarai terjadi karena tak ada support dari pemerintah terhadap pasokan sapi lokal ditambah lagi dengan kebijakan import sapi dari Australia semakin menaikan harga sapi di dalam negeri, khususnya wilayah Jabar sendiri. Inilah sistem kapitalisme dengan kebijakan impornya yang tidak memihak kepada para peternak lokal. Alih-alih mensejahterakan peternak dalam negeri, yang terjadi justru lebih menguntungkan pihak asing.
Apalagi ketika harga dilepas bebas kepada pasar yang saat ini dikuasai korporasi. Kondisi ini memberi peluang besar kepada korporasi untuk meraup keuntungan dengan menaikkan harga sesuka hati. Sehingga mengakibatkan inflasi dan ketidakstabilan harga. Akhirnya, lagi-lagi rakyatlah yang harus kembali gigit jari.
Padahal, bila kita berkaca pada aturan Islam yang pernah diterapkan dulu dalam tatanan pemerintahan, maka akan kita dapati hal yang berkebalikan. Di dalam aturan Islam, negara yang disebut dengan Khilafah akan menjalankan politik dalam negeri dan luar negeri berdasarkan syariat Islam. Di dalam negeri, negara hadir sebagai penanggung jawab hajat rakyat, termasuk dalam pemenuhan pangan yang merupakan kebutuhan asasi. Sebab Rasulullah saw telah menegaskan fungsi pemerintah dalam hadis,
“Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Maka dari filosofinya, negara akan serius mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan dengan cara menggenjot produksi dalam negeri. Khilafah wajib mendukung peternak agar berproduksi maksimal, berupa pemberian kemudahan mendapatkan bibit sapi unggul, atau menyediakan lahan peternakan; menyalurkan bantuan permodalan, membangun infrastruktur peternakan, sanitasi dan lainnya.
Yang tak kalah penting, kedaulatan pangan akan tercapai seiring visi politik luar negeri negara. Dalam pandangan Islam, negara wajib menjadi negara yang mandiri/independen. Negara tidak boleh tergantung dan terikat kepada perjanjian yang bertentangan dengan Islam. Apalagi sudah nyata mengancam kedaulatan negara. Allah SWT berfirman,
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.” (QS an-Nisaa: 141).
Dengan demikian tidak akan terjadi ketergantungan pada impor. Sebaliknya, impor dilakukan saat dibutuhkan saja dengan sejumlah ketentuan Islam yang berlaku.
Berkaitan dengan harga, di dalam Islam memang dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, supplay and demand. Hal ini dapat dilihat ketika zaman Nabi, saat harga barangbarang naik, para sahabat datang kepada Nabi SAW meminta agar hargaharga tersebut dipatok, supaya bisa terjangkau. Tetapi, permintaan tersebut ditolak oleh Nabi, seraya bersabda, “Allahlah yang Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi Rezeki, dan Mematok harga.” (HR Ahmad dari Anas). Dengan begitu, Nabi tidak mau mematok harga, justru dibiarkan mengikuti mekanisme supplay and demand.
Ketika Nabi mengembalikan kepada mekanisme pasar, bukan berarti negara kemudian sama sekali tidak melakukan pemantauan dan pengelolaan. Tentu tidak, hanya saja pengelolaan bukan dengan mematok harga, namun dengan cara lain. Cara, yang tidak merusak persaingan di pasar. Pengelolaan dilakukan jika kenaikan harga barang itu terjadi, karena faktor supplay yang kurang, sementara demandnya besar, maka agar harga barang tersebut bisa turun dan normal, negara bisa melakukan intervensi pasar dengan menambah supplay barang. Cara ini jelas tidak merusak pasar. Justru sebaliknya, menjadikan pasar tetap selalu dalam kondisi stabil.
Maka jelas, kedaulatan pangan bisa terwujud dalam sistem Islam dengan penerapan sistemnya yang terintegratif, artinya bukan hanya sistem ekonominya yang tangguh, melainkan politik, keamanan, sosial dan sebagainya juga kuat dan berdaulat.
Wallahua’lam
Masukan komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator.