Oleh: Tantan Sutandi
“Defects in Agrarian structure, and in particular systems of land tenure, prevent a rise in the standar of living of small farmers and agricultural laborers, and impede economic development”.
Presiden pertama Republik Indonesia , Ir. Soekarna mengutip penyataan PBB masalah pertanahan saat pidato HUT RI tahun 1960. Tak dipungkiri pelik memang urusan tanah apalagi saat itu negara belum lama berdiri. UUPA No.5 tahun 1960 yang menjadi dasar hukum restrukturisasi tanah, sebagai suatu bentuk lawan feodalisme dan kolonialisme, lahir 15 tahun setelah kemerdekaan . Namun sayang reforma agraria tak semulus yang diharapkan.
Pemangku kebijakan tidak pro terhadap aspirasi rakyat yang menuntut reforma agraria memberatkan kehidupan petani dengan menciptakan dan melestarikan ketimpangan dalam penguasaan sumber-sumber agraria.

Hingga saat ini sisa” feodalisme dan kolonialisme masih kita rasakan, ketimpangan dalam penguasaan sumber-sumber agraria masih tinggi, bahkan bisa dikatakan ketimpangan sangat kronis. Dokumen “Jalan Perubahan Menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, “ Visi, Misi, dan Program Aksi Joko Widodo – M. Jusuf Kalla , Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi membangun Indonesia dari pinggiran, dimulai dari daerah dan desa menjadi angin segar untuk pelaksanan reforma Agraria. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria mencakup enam komponen program, yakni:
(1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, (2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria, (3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria, (4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria.
(5) Pengalokasian Sumber Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat, (6) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah, Reforma agraria juga harus menjadi cara baru bukan saja untuk menyelesaikan sengketa agraria antara perusahaan dan masyarakat atau masyarakat dengan pemerintah. Ini harus menjadi cara baru mengatasi kemiskinan, ketimpangan sosial-eko-nomi, khususnya di perdesaan.
Pelaksanaan Redistribusi Tanah merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) , Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian serta diperluas dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Penyerahan sertifikat TORA di pondok pesantren Assalam Kecamatan Warungkiara 7 Februari 2020, itu adalah wujud pelaksanaan reforma agraria di kabupaten Sukabumi.
Patut diapresiasi pemerintah sudah nampak sedikit serius mengimplementasikan amanat konstitusi tentang reforma agraria . Kenapa Di warungkiara ,tanah siapa dan untuk siapa ? Di kecamatan Warungkiara ada 5 HGU perkebunan swasta dan HGU PTPN VIII Milik BUMN, Dengan luasan seluruhnya kurang lebih 9000 Ha.
Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, baik ditanah pribadi ataupun di tumpang sari ditanah perkebunan. Keterbatasan lahan pertanian dan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup mendorong petani menggarap di lahan perkebunan, ”euweuh pilihan deui Batan anak pamajikan teu dahar”. (gak ada pilihan ,daripada anak dan istri gak makan ) begitulah petani penggarap selalu bilang desa yang merupakan sumber produksi tangan sebagian besar penduduknya dililit kemiskinan karena hanya jadi petani penggarap.
Desa seharusnya dapat menjadi lumbung pangan melalui aktivitas produksi yang dilakukan di atas lahan pertanian, namun apa yang menyebabkan angka kemiskinan pedesaan tetap melambung, Ledakan jumlah penduduk ditambah Keterbatasan akses lahan masih menjadi problem utama peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mau menyadari kebutuhan akses lahan pertanian, para petani mendesak pemerintah untuk segera menjalankan reforma agraria, menuntut hak atas tanah di eks HGU PT SUGIH MUKTI,akhirnya pemangku kebijakan pertanahan dan pemerintahan daerah kab.sukabumi menetapkan eks perkebunan PT SUGIH MUKTI Menjadi Tanah Objek Reforma agraria (TORA).
Penyerahan sertifikat 7 Februari 2020 itu adalah pelaksanaan reforma agraria, tanah eks HGU PT SUGIH MUKTI ,yang berakhir Haknya pada tahun 1998, luasnya 720 Ha. Selama 22 tahun tanah eks perkebunan itu baru bisa di eksekusi. 22 tahun bukan waktu yang sIngkat,jika saja pemangku kebijakan berjalan sebagai mana mestinya, melaksanakan pemantauan dan evaluasi hak atas tanah secara berkesinambungan terhadap pemenuhan kewajiban pemegang hak atas tanah yang saat ini diprioritaskan pada badan hukum pemegang Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB).melakukan identifikasi dan pengawasan terhadap hak-hak atas tanah yang seyogyanya harus jatuh ke tangan negara dikarenakan faktor-faktor yuridis yang mengatur tentang itu Mungkin sudah dari 15 atau 20 tahun yang lalu telah tanah itu di redistribusikan kepada petani.
Perjalanann panjang perjuangan petani warungkiara untuk mendapatkan Haknya sebagai petani, penantian Yang melelahkan membuahkan hasil meskipun tidak sesuai dengan harapan, dari total 720 Ha, eks HGU PT SUGIH MUKTI, Hanya 320 Ha yang dilepaskan untuk 1500 petani. Rata-rata hanya mendapatkan 0,21 Ha lahan pertanian.dengan luasan 0,21Ha akankah petani sejahtera dan keluar dari kemiskinan ???
Negara menjamin luasan lahan pertanian 2 Ha per keluarga petani jika merujuk pada undang undang No.19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani dan peraturan pemerintah No.65 tahun 2019 tentang jaminan luasan lahan pertanian. Tujuan Redistribusi Tanah adalah mengadakan pembagian tanah dengan memberikan dasar pemilikan tanah sekaligus memberi kepastian hukum hak atas tanah kepada subjek yang memenuhi persyaratan sehingga dapat memperbaiki serta meningkatkan keadaan sosial ekonomi subjek redistribusi tanah.
Presiden Joko Widodo meminta reforma agraria dan perhutanan sosial digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. Sasarannya adalah 40 persen rakyat yang masuk dalam lapisan ekonomi terbawah,Subjek penerima Tora diatur dalam Perpres No.86 tahun 2018. Pasal 12. Ada hal yang mengganjal dalam pelaksanaan redistribusi TORA. Diwarungkiara yang terkesan dipaksakan dan kejar target. Pertama eks HGU PT SUGIH MUKTI luasnya 720 H, kenapa hanya 320Ha yang dijadikan objek Tora, de facto 90% tanah di sudah di garap masyarakat , sisa 400 Ha buat apa,untuk siapa ?
Dikembalikan ke eks pemegang HGU ? 320 Ha untuk 1500 orang, 400 Ha untuk seorang pengusaha ? Dan dalam luasan 400 Ha itu terdapat 100Ha untuk kawasan penghijauan,tapi nyatanya ditanami cengkeh,dikuasi seseorang. Konon cerita petani di sana diusir dengan ganti rugi sangat rendah. pelaksana kegiatan tidak serius dalam melakukan inventarisasi dan identifikasi Objek dan subjek .
Kedua, Saat ini ratusan orang subjek penerima TORA kebingungan, pegang sertifikat TORA tapi mereka tidak tahu di mana objeknya. Bahkan ada yang bukan petani penggarap, tidak punya lahan garapan tapi bisa dapat sertifikat TORA. subjek penerima Tora tidak sesuai dengan Perpres no 86 tahun 2018.
Dari dua catatan diatas menandakan bahwa pelaksana kegiatan dalam melakukan inventarisasi , identifikasi objek dan subjek tidak serius juga tidak mengacu pada undang-undang, Perpres, dan petunjuk teknis kegiatan TORA. Peran panitia pertimbangan landreform sangat lemah hingga bisa kecolongan dalam hal identifikasi subjek TORA.
Ini masalah serius dan perlu dievaluasi agar tidak terjadi pembenaran untuk membelokan yang benar, pembenaran untuk membenarkan yg tidak benar. Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan lahan. Termasuk di dalamnya pemanfaatan wilayah dan sumber daya alam.Semoga kedepan Pemerintah tidak lagi mempertontonkan kekeliruan reforma agraria dengan membiarkan krisis agraria dialami kaum tani.
Discussion about this post