Oleh: Ummu Ilmira
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW haram hukumnya. Ia menegaskan hal itu pada Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/1).
Menurut Mahfud, pemerintahan Nabi Muhammad menggunakan sistem legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Semua peran itu berada dalam diri Nabi Muhammad SAW sendiri. Nabi berhak dan boleh memerankan ketiga-tiganya karena dibimbing langsung oleh Allah SWT.
Pernyataan Mahfud MD ini ditanggapi Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat Anton Tabah dengan meminta Mahfud untuk bersuara sesuai dengan bidangnya. Terkait ucapan Mahfud haram mengikuti negara yang dicontohkan Rasulullah SAW maka beliau mengimbau Mahfud untuk segera bertaubat. Menurut beliau keliru apabila soal sistem pemerintahan dalam Islam seluruhnya berada di tangan Nabi Muhammad SAW.
Anton menyampaikan bahwa Nabi Muhammad SAW juga memberikan jabatan tanggung jawab pada orang yang ahli di bidangnya dengan ajarannya yang masyhur yaitu “jika diserahkan jabatan atau perkara bukan kepada ahlinya maka tunggulah kehancurannya”. “Karena itu Mahfud harus hati-hati bicara. Apalagi sampai mengharam-haramkan perilaku Nabi untuk diikuti maka ia (Mahfud MD) harus segera bertaubat,” kata dia.
Apa yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Hukum MUI pusat memang benar adanya. Pernyataan Menkopolhukam mengenai haramnya mengikuti negara yang dicontohkan oleh Rasulullah sangat berbahaya dan dapat mencederai keimanan seorang muslim. Pernyataan Mahfud bahwa umat Islam diperintahkan mendirikan negara Islami dan bukan negara Islam juga merupakan penyesatan yang berbahaya dan tidak memiliki landasan dalil syar’i serta bertentangan dengan al Qur’an dan as Sunnah.
Kita ketahui saat ini sedang diberlakukan sistem kehidupan sekuler dimana sistem ini menjerat setiap muslim untuk berpikir sekuler dan menentang ketaatan sempurna kepada Allah SWT. Dalil al Qur’an ditafsirkan sesuai hawa nafsu. Agama tidak boleh dibawa dalam kehidupan bernegara.
Dalil yang seharusnya dipahami kontekstual malah dipahami tekstual, dalil yang harus dipahami tekstual malah dipahami kontekstual. Apapun dilakukan agar terjadi penyesatan di tengah-tengah umat dan tidak ada ketaatan sempurna dalam beribadah kepada Allah.
Sesungguhnya kita tidak boleh beribadah melainkan dengan apa yang telah Allah syariatkan di dalam kitabNya, atau yang telah disyariatkan dalam Sunnah NabiNya yang terpelihara, tidak dengan bid’ah dan tidak dengan hawa nafsu.
Allah berfirman: ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” [al Hasyr : 7]. [1]
Ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah banyak. Menurut Imam Ahmad, ada 33 ayat.
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XIX/83), bahwa Allah telah mewajibkan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sekitar 40 ayat dalam a Qur`an. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)
Adapun ayat-ayat mulia dalam al Qur`an al Azhim yang berkenaan dengan ittiba`, di antaranya :
1. Allah Azza wa Jalla berfirman: Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [ali Imran : 31].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) berkata,”Ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang tersebut dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.
Sebagaimana terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.
Karena itu Allah berfirman “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Kalian akan mendapatkan apa yang kalian minta, dari kecintaan kalian kepadaNya, yaitu kecintaan Allah kepada kalian, dan ini lebih besar daripada yang pertama, sebagaimana yang diucapkan oleh para ulama. Yang penting adalah, bukan bagaimana kalian mencintai, akan tetapi bagaimana kalian dicintai oleh Allah. Yang pertama kita mencintai Allah dan yang kedua Allah mencintai kita.
Menurut al Hafizh Ibnu Katsir, bahwa Allah mencintai kita itulah yang paling besar, bagaimana supaya kita bisa dicintai oleh Allah. Setiap kita bisa mencintai, namun tidak setiap kita bisa dicintai. Syarat untuk dapat dicintai oleh Allah adalah dengan ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Hasan Basri dan ulama salaf lainnya mengatakan, sebagian manusia mengatakan mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini. Orang-orang munafik mengucapkan cinta kepada Allah dan RasulNya, namun hatinya tidak demikian, karena mereka tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Tafsir Ibnu Katsir, I/384, Cet. Daarus Salaam, Th. 1413 H].
Ayat ini mengandung fadhilah (keutamaan) jika kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu Allah akan mencintai kita, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.
2. Allah Azza wa Jalla berfirman: Katakanlah : “Taatilah Allah dan RasulNya. Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir’’. [Ali Imran : 32]. Ayat ini mengandung makna, jika seseorang menyalahi perintah RasulNya atau tidak berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah kufur; dan Allah tidak menyukai orang yang memiliki sifat demikian, meskipun dia mengaku dan mendakwahkan kecintaannya kepada Allah, sampai ia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seluruh jin dan manusia wajib untuk ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga seandainya Nabi Musa ditakdirkan hidup pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia pun wajib ittiba’ kepada Nabi Muhammad.
Demikian juga dengan Nabi Isa ketika turun ke bumi pada akhir zaman nanti, maka Nabi Isa wajib ittiba` kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian ini menunjukkan, bahwa seluruh manusia wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir,”Dan Rasulullah SAW diutus untuk seluruh makhlukNya, baik golongan jin dan manusia. Kalau seandainya seluruh nabi dan rasul, bahkan seluruh Ulul ’Azmi dari para rasul, mereka hidup pada zaman Rasulullah, maka mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Tafsir Ibnu Katsir, I/384].
Sebagaimana yang pernah terjadi pada Umar bin Khaththab, ketika itu beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang dan membaca lembaran Taurat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah engkau merasa ragu, wahai Umar bin Khaththab? Demi yang diri Muhammad ada di tangan Allah, sungguh aku telah membawa kepada kalian agama ini dalam keadaan putih bersih. Janganlah kalian tanya kepada mereka tentang sesuatu, sebab nanti mereka kabarkan yang benar, namun kalian mendustakan. Atau mereka kabarkan yang bathil, kalian membenarkannya. Demi yang diri Muhammad berada di tanganNya, seandainya Nabi Musa itu hidup, maka tidak boleh bagi dia, melainkan harus mengikuti aku”. [HR Ahmad, III/387; ad Darimi, I/115; dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah, no. 50, dari sahabat Jabir bin Abdillah. Dan lafazh ini milik Ahmad. Derajat hadits ini hasan, karena memiliki banyak jalur yang saling menguatkan.
Lihat Hidayatur Ruwah, I/136 no. 175] Kita perlu membahas masalah ittiba’ karena masalah ini sangat penting, sudah banyak dilalaikan (diabaikan) oleh kaum Muslimin dan juga oleh para da’i.
Baik ittiba’ dalam masalah aqidah, syariah (ibadah), akhlaq, dakwah, siyasah syar’iyyah, termasuk bentuk negara dan pemerintahan. Karena dengan ittiba’, Allah menjamin kebahagiaan, kemenangan dan surga. Allah akan menjadikan kebinasaan, kehinaan, kerendahan, kehancuran bagi orang-orang yang tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ittiba’/mencontoh Rasulullah SAW dalam semua perilaku Rasul termasuk membentuk negara Islam adalah bukti sempurnanya iman setiap muslim.
Wallahu’alam bishshawab.
Discussion about this post