Oleh: Oksa Bachtiar Camsyah
Jarum jam menunjukkan pukul setengah lima sore. Saya terjebak di sebuah warung bakso, sementara di luar sana rintik hujan nampaknya masih enggan untuk berhenti.
Satu mangkuk bakso bening selesai saya lahap, lengkap dengan kerupuk dan sambal yang cukup menghangatkan badan di tengah cuaca dingin ini. Tapi tiba-tiba, pikiran saya berkecamuk saat membaca sebuah artikel, yang isinya kurang lebih membahas tentang fenomena politik kaum muda.
Kaum muda ini, konon katanya adalah para pembaharu yang akan mencapai puncak akselerasinya di Indonesia pada tahun 2024 mendatang. Sejenak kita tinggalkan topik pembicaraan tentang 2024.
Mengapa demikian ? Karena secara pribadi, saya merasa ada sesuatu yang nampaknya mesti saya bagikan ke ruang publik. Sesuatu yang beberapa waktu belakangan ini cukup mengganggu konsentrasi saya.
Benarkah pemuda Indonesia hari ini sudah pantas untuk memimpin ? Jujur saja, saya agak ragu dengan pernyataan di atas. Secara usia, mungkin saya masih masuk kriteria pemuda, yang artinya secara emosional seharusnya saya menyepakati pernyataan di atas.
Tapi sayangnya, ada sebuah realitas yang saya saksikan, dimana realitas itu mendorong saya kepada sebuah keraguan bahwa apakah pemuda ini benar-benar pantas untuk memimpin negeri sebesar Indonesia.
Baik pada level daerah maupun level kepemimpinan nasional. Gelombang narasi tentang kepemimpinan muda memang nampak cenderung muncul ke permukaan pada beberapa tahun belakangan ini.
Di Perancis kita mengenal Macron. Di Indoneia, saya rasa kawan-kawan dapat menyimpulkannya sendiri. Lantas apa yang saya ragukan itu ? Yang saya ragukan adalah, apakah narasi kepimpinan muda ini diimbangi oleh keseriusan kita dalam memproduksi pemuda-pemuda yang berkualitas itu ?
Keseriusan kita dalam membentuk karakter pemuda yang paham betul tentang respon terbaik apa yang bisa ia lakukan terhadap fakta Indonesia hari ini. Sekitar satu bulan yang lalu, jagat media sosial maupun media mainstream diramaikan oleh riuh rendahnya pemberitaan tentang anggota DPR atau DPRD termuda.
Seakan-akan, takdir yang menempatkan mereka sebagai penyelenggara pemerintahan termuda itu seiring sejalan dengan narasi yang akan mereka bawa ke gedung-gedung rakyat itu. Jujur saja, saya tak pernah memandang usia sebagai parameter perjuangan.
Tapi, nilai apakah yang sebenarnya mereka perjuangkan. Atau jangan-jangan, kaum muda ini justru terjebak dalam gemerlap dunia yang belum mampu ia kendalikan. Secara elektoral, narasi kepemimpinan muda ini memang akan segendang sepenarian dengan wacana bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada beberapa tahun ke depan.
Maka tak ayal, kita banyak menyaksikan narasi kepemimpinan muda itu menjadi alat politik yang cenderung hanya digunakan untuk mendapatkan kursi kekuasaan saja.
Tak lebih dari itu. Partai politik yang seharusnya menjadi wadah kepemimpinan nasional melalui sistem kaderisasi yang matang, nampaknya juga lebih tertarik memperdagangkan kaum muda dalam produk yang sudah ada, tanpa melalui proses pengkaderan yang panjang dan mendalam. Tahu bulatlah jadinya. Padahal, partai politik seharusnya tidak hanya berbicara soal elektabilitas atau popularitas.
Tapi, partai politik juga harus akrab dengan aktivitas _knowledge and character improvement_ bagi setiap kader partainya. Termasuk kaum muda. Sehingga, masuknya kaum muda ke gelanggang itu diiringi dengan semangat yang meyakinkan hati nurani publik, bahwa memang sedang ada nilai yang diperjuangkan.
Kaum muda tidak hanya menjadi komoditas politik yang diperdagangkan tanpa ide. Dan para aktivis mahasiswa yang mulai _shifting_ ke dunia politik praktis, yang tentunya menjadi bagian dari kaum muda itu, haruslah mengawalinya dengan semangat pembaharuan yang konstruktif, bukan sekedar mencari kepuasan pragmatisme belaka. Sukabumi,
31 Oktober 2019.
Discussion about this post