Oleh: Dr. Padlilah, S.H., M.H (Praktisi Hukum dan Dosen Universitas Nusa Putra Sukabumi)
Kasus dugaan kekerasan seksual oleh seorang dokter PPDS di RSHS membuka luka dalam dunia medis kita: ruang rawat yang seharusnya aman justru menjadi tempat ketidakadilan. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pengkhianatan terhadap kepercayaan dan etika profesi.
Kasus yang melibatkan dr. PAP, seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), kembali mengingatkan kita bahwa ruang medis bukan selalu tempat yang aman. Dugaan kekerasan seksual terhadap pasien dalam konteks hubungan dokter-pasien mencerminkan masalah serius dalam sistem dan budaya pengawasan profesi kesehatan di Indonesia.
Dalam hubungan medis, dokter memegang posisi otoritatif yang kuat: memiliki akses terhadap tubuh pasien, informasi pribadi, dan keputusan pengobatan. Kepercayaan pasien adalah fondasi mutlak yang harus dijaga. Namun ketika relasi kuasa ini disalahgunakan, yang terjadi bukan hanya pelanggaran etika — tetapi kejahatan yang menimbulkan luka psikis dan sosial berkepanjangan bagi korban.
Instrumen Hukum: Sudah Kuat, Tinggal Penegakan
Indonesia sebenarnya sudah memiliki instrumen hukum yang cukup kuat melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dalam UU ini ditegaskan bahwa kekerasan seksual, apalagi oleh tenaga kesehatan terhadap pasien, adalah tindak pidana serius. Bahkan jika pelaku memiliki kedudukan atau relasi kuasa atas korban, seperti dalam konteks dokter-pasien, maka sanksi hukum diperberat.
Pasal 15 UU TPKS memberi ancaman pidana hingga 12 tahun penjara, denda hingga Rp300 juta, pengumuman identitas pelaku, hingga pencabutan hak profesi. Di sisi lain, KUHP juga menyediakan pasal-pasal yang bisa digunakan, seperti Pasal 289, 290, dan 294 tentang perbuatan cabul terhadap orang yang tidak berdaya atau berada di bawah pengawasan pelaku.
Namun sebagaimana sering terjadi, masalahnya bukan pada kekuatan hukum — tetapi pada komitmen penegakan hukum. Proses yang lambat, tekanan institusional, hingga kekhawatiran soal “nama baik” seringkali mengaburkan jalan keadilan.
Etika Profesi yang Retak
Tak cukup hanya bicara hukum. Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) menegaskan bahwa dokter wajib menjaga integritas, martabat, dan kepercayaan masyarakat. Tindakan kekerasan seksual bukan hanya mencederai korban, tetapi juga mencabik-cabik nilai-nilai dasar profesi kedokteran.
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi etik dan administratif. Namun publik sering kali tidak tahu proses ini berjalan atau tidak. Transparansi dan akuntabilitas dalam ranah etik medis perlu diperkuat agar tak sekadar menjadi prosedur formal.
Hak Korban: Tidak Hanya Meminta Maaf
Dalam ranah perdata, korban berhak menuntut kompensasi atas kerugian psikologis, sosial, dan ekonomi melalui gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Sayangnya, banyak korban enggan melapor karena trauma, rasa malu, atau tekanan lingkungan. Negara, lembaga medis, dan masyarakat harus hadir untuk mendampingi korban — bukan malah menyalahkan atau membungkam mereka.
Saatnya Melihat Cermin
Kasus dr. PAP adalah cermin yang memperlihatkan sisi gelap dari sistem medis kita. Kejadian ini mestinya menjadi momentum refleksi menyeluruh, mulai dari sistem pendidikan kedokteran, proses rekrutmen PPDS, hingga pengawasan praktik di rumah sakit. Kita butuh reformasi sistem pengawasan profesi medis, bukan hanya reaksi sesaat ketika kasus muncul ke publik.
Apabila profesi dokter ingin terus dihormati, maka integritas dan etika harus dijaga tanpa kompromi. Dan apabila negara ingin disebut menjunjung keadilan, maka perlindungan terhadap korban harus menjadi prioritas — bukan sekadar wacana.
Kepercayaan yang rusak sulit diperbaiki. Tapi keadilan yang ditegakkan bisa menjadi awal penyembuhan — bukan hanya untuk korban, tetapi juga untuk martabat profesi itu sendiri. (*).
Discussion about this post