JURNALSUKABUMI.COM – Anggota Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, menggelar Sosialisasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Kota Sukabumi pada Rabu (15/102025).
Kegiatan bertema “Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana” ini menyoroti minimnya kesadaran dan literasi hukum masyarakat mengenai hak perlindungan, meskipun angka kejahatan secara nasional dan di Jawa Barat terus melonjak.
Dewi Asmara, politisi dari Partai Golkar, menekankan bahwa LPSK adalah wujud nyata kehadiran negara untuk menjamin keadilan dan keamanan warga yang terlibat dalam proses hukum.
Namun, ia menyayangkan tingginya kesenjangan antara jumlah kasus kejahatan dengan permohonan perlindungan yang diajukan ke LPSK.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kejahatan di Indonesia meningkat drastis dari 372.965 kasus pada tahun 2022 menjadi 584.991 kasus pada tahun 2023. Ironisnya, dari total 9.070 kasus kekerasan seksual nasional pada 2023, hanya 1.079 permohonan (sekitar 12%) yang masuk ke LPSK.
Tren serupa terlihat di Jawa Barat yang mencatatkan permohonan perlindungan tertinggi secara nasional pada tahun 2024.
Di Sukabumi sendiri, tercatat 29 permohonan hingga Oktober 2025, mayoritas terkait kekerasan seksual, perdagangan orang (TPPO), dan pelanggaran HAM berat.
“Data ini memperlihatkan masih banyak korban yang diam karena takut, malu, atau tidak tahu ke mana harus meminta perlindungan. Padahal, negara sudah menyediakan mekanismenya,” ujar Dewi.
Untuk mengatasi persoalan ini, Dewi menilai penguatan literasi hukum dan edukasi mengenai tata cara permohonan perlindungan ke LPSK adalah kunci utama.
Selain itu, DPR RI saat ini tengah membahas revisi Undang-Undang LPSK untuk memperluas ruang lingkup dan memaksimalkan perlindungan bagi saksi tindak pidana besar seperti korupsi, TPPO, dan kekerasan seksual.
Ia juga meminta dukungan pemerintah daerah karena perlindungan saksi dan korban merupakan kebutuhan mendesak di daerah.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK RI, Wawan, menegaskan bahwa perlindungan hanya dapat diberikan kepada saksi dan korban apabila kasusnya telah atau sedang ditangani oleh aparat penegak hukum, sesuai dengan amanat UU Nomor 31 Tahun 2014.
“Perlindungan bagi saksi maupun korban hanya dapat diberikan sepanjang ada proses hukum di dalamnya. Jadi, tidak bisa jika peristiwanya belum masuk ke ranah hukum,” tegas Wawan.
Menurutnya, LPSK tidak hanya melindungi secara fisik, tetapi juga menjamin keberanian warga negara untuk mengungkap tindak pidana.
Perlindungan ini membutuhkan kolaborasi kuat antara aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil agar saksi dan korban merasa aman untuk bersuara, yang merupakan inti dari proses peradilan yang jujur dan transparan.
Reporter: Fira AFS | Redaktur: Ujang Herlan











