Oleh: Sekretaris PWI Kabupaten Sukabumi, Budi Darmawan (Buda)
Ah Memang Gila, Orang gila di lampu penyeberangan jam dua malam lewat pada saat lampu sedang merah tepat di tengah tengah zebra cross. Begitulah salah satu lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Orang Gila.
Boleh jadi kita sering memandang orang gila itu hanya sebatas sampah dan bahan untuk diperolok-olokan. Di sudut pasar, orang gila teriak-teriak semangat juang, memaki-maki koruptor. Sesekali dia takbir.
Di trotoar, orang gila mesem-mesem sambil mengelus-elus gembolanya. Di tong sampah ada lagi orang gila memungut sisa makanan, lalu dimakannya sambil komat-kamit.
Apapaun tingkah orang gila tersebut tetatap saja dipandang gila. Betapa tidak? Sosok orang gila selalu dipandang bak sampah menjijikan. Dengan pakaian kumel dan gembolan lusuhnya, menghalangi kelokan pernak-pernik pemandangan setiap lorong pemandangan kota.
Seakan menjadi buntu hampir seluruh orang termasuk para pemangku kebijakan yang notabene mengaku waras pun nampaknya kehabisan akal mengatasinya. Pikir cepat dari pada kena damprat majikan, diangkutlah manusia dianggap sampah itu ke atas truk dibuangnya di tengah jalan kota tetangga.
Dari kota tetangga pun berfikir demikian. Seakan tak ada habis-habisnya permasalahan ini. Ibarat mengejar bola mengocek lawan tanpa tiang gool.
“Gila itu negara tetangga, seenaknya saja membuang orang gila ke tempat kita. Coba bersihkan lagi terserah kalian,” keluh pejabat tetangga.
Tetangga lainyapun berkeluh sama. “Benar-benar gila!”. Seorang teman datang ke rumah, sambil menemani ngopi. Ia mengatakan, gila para politisi teriak-teriak orasi menjual kemiskinan lalu memakan uang rakyat miliaran rupiah.
Lama bercakap sambil menikmati udara pagi yang sejuk selepas hujan semalam ditemani kopi pekat, kami tak habis membahas orang gila.
“Memang bahasan pagi yang gila. He he he,”. Gila memang, banyak orang tergila-gila tahta jabatan dan kedudukan. Habis duit gila-gilaan. “Si Pulan tuh habis ratusan juta mencalonkan jadi dewan. Temennya lebih gila lagi. Mencalonkan jadi walikota atau kelas bupati habis miliyaran, eh gak kepilih. Sekarang dia beneran jadi gila,” katanya.
Pandemi Covid-19 yang tak tahu kapan berakhir. Lebih dari setahun kasus peningkatannya semakin menggila. Antara fakta dan maya saling tuding menghiasi dinding platform media sosial. Faktanya ada ribuan terpapar di beberapa rumah sakit. Satgas Covid 19 melakukan berbagai cara, penanganan, pencegahan dan pemutusan mata rantai Covid 19.
“Ada faktanya juga di kala covid menggila, beberapa pejabat malah bermain gila. Kok bisa sempat-sempatnya nilep dana Covid?” ujar teman sambil nyeruput kopi hitam yang nyaris tinggal ampasnya.
Berita tentang Covid 19 memang menjemukan. Apalagi adanya kebijakan pembatasan sosial atau lock down. “Alih-alih sebagai bukti tugas, ah cukup bukti swafoto saja membagi masker di jalan. Padahal di pojokan sana banyak orang berkerumun. Yang penting ada bukti foto, cari buktinya penyekatan jalan, masih ada jalan tikus,” ujarnya.
“Biarlah para oknum bermain gila dengan wabah. Toh orang gila sekali pun makan dari tong sampah tak kena wabah. Benar juga orang gila tak merapas hak orang waras,”.
Namun kita sebagai orang yang beriman tentu harus menjaga keimanan. Seperti tidak makan hak orang, tidak memaksa, saling membagi, ikhtiar dan berdo’a. Tentunya akan menjaga kebersihan sebagain dari pada iman.
Menutup obrolan sang teman mengingatkan, “Ini musim gila bola hati-hati nonton jangan pakai emosi, nanti stres imun menurun. Apapun hasilnya yang untung bandar judi bola.” Sambil mengusap kumis yang disinggahi ampas kopi. (*).
Discussion about this post