Jurnalsukabumi.com – Pihak Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur, buka suara terhadap kasus dugaan pelecehan seksual yang dituduhkan kepada MSA. Pria yang tak lain anak dari kiai di Ponpen Shiddiqiyyah tersebut dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap santriwatinya.
Juru bicara MSA, Nugroho Harijanto, membantah sangkaan polisi yang menyebutkan MSA telah melecehkan santrinya. Kasus pelecehan seperti yang dilaporkan pelapor, tidak pernah terjadi. Ia menegaskan tuduhan terhadap MSA adalah fitnah keji.
“Ini fitnah keji. Para santri dan pengurus pondok berani memberikan jaminan bahwa tuduhan itu tidak benar. Pondok Shiddiqiyyah bersih dari perbuatan asusila,” ujar Nugroho dalam rilis pers yang diterima jurnalsukabumi.com, Rabu (5/2/2020).
Nugroho mengungkapkan fitnah tersebut bermula dari seleksi santri untuk mengikuti program pelayanan kesehatan masyarakat desa dan pedalaman hutan yang diselenggarakan pada Maret 2017. Pelapor merupakan salah satu santriwati yang ikut seleksi itu.
Menurut Nugroho, ditengah sesi tes wawancara tiba-tiba pelapor menangis di hadapan MSA. Saat ditanya oleh MSA, pelapor mengatakan dirinya merasa kotor karena telah dinodai oleh mantan pacarnya asal Semarang.
“Pelapor mengaku bersalah dan berdosa. Itu terjadi di teras rumah terapi, tempat wawancara berlangsung, disaksikan semua santri yang mengikuti seleksi. Tidak heran kalau para santri yang mengikuti seleksi dan menyaksikan siap menjadi saksi dalam kasus ini,” ujar Nugroho.
Pria yang juga Ketua DPW Shiddiqiyyah Yogyakarta ini menambahkan, setelah sesi wawancara, pelapor dipanggil oleh beberapa orang untuk kembali menceritakan kasusnya. Saat itu pelapor menceritakan hal sama.
Nugroho mengatakan, orang-orang yang memanggilnya tersebut justru meminta pelapor membuat cerita lain. Pelapor disuruh membuat surat pernyataan yang isinya memutarbalikkan fakta.
Masih kata Nugroho, pelapor diminta mengaku telah diperlakukan tidak senonoh oleh MSA, padahal yang berbuat adalah mantan pacarnya. Menurut Nugroho, saat membuat pernyataan tersebut pelapor dipaksa dan diancam oleh tiga orang yang memanggilnya, setelah itu menyuruh pelapor untuk membagikan surat pernyataan tersebut ke grup whatsApp.
“Kami punya bukti bahwa surat pernyataan itu dilakukan MNK di bawah ancaman orang-orang tersebut,” ujar Nugroho seraya. Ia pun menegaskan setelah disebar, pelapor menemui MSA dan menceritakan kronologi surat pernyataan tersebut. Dua adik keponakan MSA menjadi saksi pertemuan pelapor dan MSA.
“MSA menganggap masalah itu selesai. Tapi tiba-tiba datang panggilan Polres Jombang tertanggal 25 November 2019 yang menyatakan MSA sebagai tersangka. Belum pernah diperiksa polisi kok tiba-tiba statusnya tersangka. Ini kan aneh,” ujar Nugroho.
Nugroho mengakui MSA tidak memenuhi dua panggilan polisi karena harus menunggui ayahnya yang sakit patah tulang dan dalam proses penyembuhan tanpa operasi. Pihak keluarga sudah mengirim surat permohonan penangguhan panggilan ke Kapolres Jombang yang ditandatangani ibunda MSA.
Menurut Nugroho, pihaknya melihat ada beberapa kejanggalan dalam kasus tersebut. Dari sisi korban, misalnya, disebutkan dalam laporan polisi bahwa MNK merupakan gadis di bawah umur. Padahal, lanjut Nugroho, berdasarkan keterangan ijazah Sekolah dasarnya, MNK lahir pada tahun 1997. Artinya, pada tahun 2017 saat kasus itu mencuat, MNK adalah wanita dewasa, bukan di bawah umur karena sudah berusia 20 tahun.
“Kami juga menyimpan bukti-bukti percakapan Whatsapp yang menegaskan bahwa MSA itu korban. Tuduhan kepada MSA adalah fitnah keji, dan kami tahu siapa dalangnya,” ujar Nugroho.
Terpisah,Kuasa Hukum Pelapor, Palupi Pusporini mengatakan tidak mempersoalkan tuduhan rekayasa kasus yang tengah didampinginya. “Yang jelas kami mengacu kepada laporan korban, alat bukti yang sudah dikumpulkan serta prespektif penyidik yang sudah menetapkan MSA sebagai tersangka,” imbuhnya.
Perempuan yang juga sebagai Sekjen Aliansi Kota Santri melawan kekerasan seksual tersebut juga mengatakan, terkait pelapor yang telah dinodai oleh mantan pacarnya. Pihaknya enggan berkomentar banyak. “Semua itu terserah keluarga tersangka, itu juga harus dibuktikan dipengadilan,” tegasnya.
Discussion about this post