JURNALSUKABUMI.COM – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sukabumi angkat bicara terkait maraknya perdebatan di media sosial mengenai narasi mencuri di tanah sendiri yang viral belakangan ini.
DLH menegaskan, isu tersebut bukan soal kepemilikan tanah, tetapi terkait aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) yang melanggar hukum dan merusak lingkungan hidup.
Kepala DLH Kabupaten Sukabumi, Nunung Nurhayati, menyampaikan bahwa fenomena ini perlu dilihat secara utuh agar masyarakat tidak terjebak dalam narasi yang menyesatkan.
“Kami menyampaikan keprihatinan yang mendalam. Kegiatan penambangan liar telah menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari kerusakan ekosistem, pencemaran air sungai, perubahan bentang alam, hingga hilangnya keanekaragaman hayati,” ujar Nunung, Senin (27/10/2025).
Nunung menjelaskan, narasi mencuri di tanah sendiri seringkali disalahartikan seolah pemerintah melarang warga memanfaatkan tanah miliknya. Padahal, yang dilarang adalah aktivitas eksploitasi sumber daya alam tanpa izin resmi, yang berdampak besar terhadap lingkungan dan keselamatan publik.
“Kepemilikan tanah tidak serta-merta memberi hak untuk mengeksploitasi sumber daya alam di dalamnya. Setiap kegiatan pertambangan wajib memiliki izin resmi dan persetujuan lingkungan,” tegasnya.
DLH Sukabumi, lanjut Nunung, berkomitmen untuk terus melakukan pengawasan dan koordinasi lintas sektor, termasuk dengan Dinas ESDM Jawa Barat, Kepolisian, dan Satpol PP guna menertibkan aktivitas tambang ilegal.
Menurut Nunung, penambangan tanpa izin tidak hanya merusak alam, tetapi juga menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi jangka panjang bagi masyarakat. Aktivitas tersebut sering dilakukan tanpa memperhatikan keselamatan kerja dan berdampak langsung terhadap kualitas tanah serta air.
“Kami mengimbau agar masyarakat segera menghentikan kegiatan penambangan liar. Keuntungan jangka pendek tidak sebanding dengan kerugian ekologis dan sosial yang ditimbulkannya,” kata Nunung.
DLH juga menyoroti fakta bahwa Sukabumi merupakan salah satu daerah paling rawan bencana di Jawa Barat. Kondisi geografis yang bergunung dan dilalui banyak sungai membuat wilayah ini sangat rentan terhadap longsor dan banjir bandang. Aktivitas tambang ilegal yang menggali tanpa kajian teknis memperbesar risiko tersebut.
“Beberapa bencana di Sukabumi terjadi di kawasan yang lingkungannya sudah rusak akibat tambang ilegal. Struktur tanah menjadi rapuh dan daya serap air berkurang,” jelasnya.
Nunung menegaskan bahwa dasar hukum terkait penambangan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja.
“Dalam Pasal 158 UU Minerba disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana hingga lima tahun penjara dan denda maksimal seratus miliar rupiah,” ungkapnya.
Selain itu, pelaku tambang ilegal juga berpotensi melanggar Pasal 69 UU Lingkungan Hidup yang melarang perbuatan mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan.
Sebagai langkah nyata, DLH Sukabumi tidak hanya menindak, tetapi juga mengedepankan pendekatan edukatif dan preventif. Sosialisasi terus dilakukan agar masyarakat memahami bahaya tambang ilegal dan pentingnya menjaga keseimbangan alam.
“Kami berusaha mendekati masyarakat dengan edukasi, bukan hanya penertiban. Tujuannya agar kesadaran kolektif tumbuh bahwa lingkungan adalah warisan bersama yang harus dijaga,” ujar Nunung.
DLH berharap masyarakat berperan aktif melaporkan setiap aktivitas tambang ilegal kepada aparat setempat atau melalui kanal pengaduan resmi pemerintah daerah.
Dengan tegas, Nunung menutup keterangannya bahwa pelestarian lingkungan adalah investasi jangka panjang untuk generasi mendatang.
“Sukabumi punya kekayaan alam luar biasa. Tapi kalau tidak dijaga, semua akan hilang karena kerakusan manusia. Mari kita rawat bersama bumi Sukabumi ini agar tetap lestari,” tandasnya.
Reporter: Ilham Nugraha | Redaktur: Ujang Herlan











