JURNALSUKABUMI.COM – Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan “menyentil” Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar tidak menghambat pencairan dana alokasi umum (DAU) dan atau dana bagi hasil (DBH)-nya ke sebanyak 380 pemerintah daerah (pemda).
Lontaran keras legislator yang akrab disapa Hergun itu menyusul penundaan pencairan DAU ratusan pemda itu karena tidak memenuhi ketentuan Laporan APBD 2020 dalam melakukan pencegahan dan penanganan Covid-19 sesuai ketentuan PMK No.35/PMK.07/2020.
Ketentuan penundaan pencairan DAU dan atau DBH tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 10/KM.7/2020 (KMK No. 10/2020).
Dijelaskan Hergun, penundaan DAU dikenakan kepada Pemda yang belum menyampaikan Laporan APBD, dan Pemda yang telah menyampaikan Laporan APBD namun belum sesuai ketentuan SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan serta PMK No. 35/2020. Salah satu kriteria di antaranya rasionalisasi belanja barang/jasa dan belanja modal masing-masing minimal sebesar 50%, serta adanya rasionalisasi belanja pegawai dan belanja lainnya, dengan memperhitungkan perkiraan penurunan pendapatan daerah.
“Melihat data lampiran Kepmenkeu, terkait penundaan DAU dan atau DBH banyak daerah yang terpaksa ditunda penyaluran DAU-nya sebesar 35 persen dari total DAU/DBH setiap bulannya mulai bulan Mei, walaupun beberapa pemda sudah memenuhi persyaratan minimal 50 persen yang disesuaikan jumlah belanjannya,” beber Hergun kepada jurnalsukabumi.com, Minggu (10/05/2020).
Tidak tanggung-tanggung, ada 380 kabupaten dan kota, termasuk 18 provinsi di dalamnya, dari kegiatan refocusing dan realokasi APBD terkumpul anggaran sebesar Rp 63,88 triliun
Berdasarkan Kepmenkeu ini, sambung Hergun, tentu Pemda harus sesegera mungkin menyerahkan laporan penyesuaian APBD-nya. Ini penting agar kebutuhan anggaran di daerah tidak menjadi terhambat. Apalagi dalam pandemi Covid-19 ini banyak penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan.
“Apalagi bagi daerah yang pendapatannya bergantung pada DAU/DBH. Bila terlalu lama tertunda penyalurannya, apalagi sampai tidak bisa disalurkan, tentu ini dapat mengganggu kinerja keuangan di daerah,” ingatnya.
Program-program yang telah disusun bisa saja terbengkalai bahkan mangkrak samasekali. Oleh karena itu, Hergun mewanti-wanti TAPD harus bekerja cepat melakukan penyesuaian dan segera melaporkannya ke pusat supaya ada jaminan program-program di daerah bisa tetap berjalan.
Walaupun penundaan ini bersifat sementara sampai pemda menyerahkan laporan penyesuaian APBD-nya. Dan kalau sampai 10 hari sebelum berakhirnya tahun anggaran 2020 laporan belum diserahkan, DAU/DBH itu tidak bisa disalurkan lagi ke pemda bersangkutan.
“Dalam masa Pandemi Covid-19 seharusnya Menteri Keuangan tidak mempersulit DAU untuk 380 Pemda, karena pemda pun juga butuh dana untuk menanggulangi dampak Covid19. Tentunya Pemda tidak bisa seleluasa Pemerintah Pusat dalam menggali sumber-sumber pendanaan,” tegas Hergun.
Menurutnya, Pemerintah pusat bisa menerbitkan Perppu dan Perpres sebagai dasar hukum untuk mencari sumber-sumber pendanaan dan penyesuaian APBN. Dalam hal ini Pemerintah diuntungkan karena kekuatan politik ‘mayoritas’ mendukung pemerintah.
Sementara Pemda harus berbicara kepada DPRD untuk melakukan penyesuaian APBD. Tidak semua pemda memiliki dukungan mayoritas di DPRD, terlebih dalam rangka menghadapi pemilukada. Butuh lobi politik yang tidak mudah. Di sinilah Menkeu harus memahami kondisi di daerah. Menkeu tidak boleh memaksakan kehendaknya secara rigid.
Pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I 2020 hanya tumbuh 2,97 persen, saat ini mungkin jadi nol bahkan minus dan ini akan menambah tingkat kemiskinan antara antara 9,7 – 12,4% atau 1,3 – 8,5 juta jiwa. “Itu adalah akumulasi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Artinya, di daerah saat ini kondisinya berdarah-darah. Kebutuhan akan DAU sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi,” imbuhnya.
Golongan rentan dan hampir miskin akan semakin banyak yang jatuh ke bawah garis kemiskinan. Akibat pandemi corona, diperkirakan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan berpotensi bertambah 5,1 juta hingga 12,3 juta orang pada triwulan II 2020.
Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik, diungkapkan Hergun jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai 6,68 juta orang pada Februari 2020. Ini artinya, tingkat pengangguran 4,8 % dari total angkatan kerja yang sebanyak 137,91 juta.
Jika jumlah pengangguran terbuka bertambah 10 juta saja dengan asumsi angkatan kerja bertambah 2 juta orang tahun ini, tingkat pengangguran melonjak menjadi nyaris 12 %. Persentase ini melompat lebih dari dua kali dari data per Februari 2020. Jika ini yang terjadi, tingkat pengangguran tahun ini bisa menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah.
Risiko peningkatan angka kemiskinan yang masif juga menghantui Indonesia. Jumlah penduduk rentan miskin dan hampir miskin mencapai 66,7 juta jiwa. Ini setara 25 % dari total penduduk, atau lebih dari 2,5 kali lipat jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
“Masyarakat golongan rentan dan hampir miskin ini umumnya bekerja di sektor informal dan banyak yang sangat bergantung pada bantuan-bantuan pemerintah. Masalah menjadi semakin pelik bila bantuan sosial dari pemerintah tidak mencukupi atau datang terlambat bahkan salah sasaran,” beber politisi gaek asal Sukabumi ini.
Pada pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Ruang Rapat Paripurna DPR-MPR, menyampaikan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan, pemerintah juga harus bersedia mendengarkan apa yang menjadi kebutuhan daerah. Tak hanya mendengarkan, pemerintah juga harus tanggap dan mengerjakan apa yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat di daerah. Sehingga nantinya akan terjadi sebuah pemerataan ekonomi yang sesuai dengan apa yang kita inginkan, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’
Terhambatnya DAU bisa menyebabkan semakin terpuruknya ekonomi di daerah-daerah. Konsumsi masyarakat sudah merosot secara drastis. Satu-satunya dorongan untuk menggerakkan ekonomi adalah belanja pemerintah. “Oleh karena itu tidak tepat bila Menkeu lebih mengutamakan aturan birokratis daripada kebutuhan mendesak pencairan DAU,” cetus Hergun.
Kengototan Pemerintah menahan DAU 380 pemda, dinilai Hergun patut dicurigai ada modus tertentu. Bisa saja ada ‘oknum-oknum’ tertentu yang ingin di ‘lobi secara khusus’. Bayangkan bila 380 Pemda ramai-ramai datang ke Jakarta untuk melobi ‘oknum-oknum’ tersebut. Oleh karena itu, daripada berpotensi menjadi sumber pemalakan terhadap pemda-pemda, lebih baik Menkeu melonggarkan aturan yang ada.
Terpenting saat ini adalah segera cairkan DAU untuk semua pemda, terutama Pemda yang sudah menyelesaikan laporan di atas 50 persen. Intinya, sudah ada iktikad baik dari Pemda, namun memang membutuhkan waktu dalam prosesnya.
“Ini yang harus dipahami oleh Menkeu. Jika pemerintah saja ingin dipahami DPR untuk menyetujui Perpu No 1/2020, maka mestinya Pemerintah juga harus memahami Pemda,” tandasnya.
Reporter: Irfan R/Riki Rahardian
Redaktur: Ujang Herlan
Discussion about this post