JURNALSUKABUMI.COM – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sukabumi Raya menegaskan sikap ideologisnya menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Melalui kajian bertema “Soeharto Bukan Pahlawan, Tetapi Pemimpin yang Tak Pernah Diadili”, yang digelar di Sekretariat GMNI Sukabumi Raya, Jumat (7/11/2025), organisasi mahasiswa berhaluan Soekarnois itu menilai Soeharto tidak memenuhi syarat moral dan hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Kegiatan ini dipantik oleh Sekretaris Jenderal GMNI Sukabumi Raya Rifky Zulhadzilillah dan Wakabid Politik, Hukum, dan HAM Gilang Tri Buana, serta dihadiri oleh sejumlah kader dari berbagai komisariat.
Menilai Soeharto Menyimpang dari Nasionalisme Bung Karno
GMNI Sukabumi Raya berpendapat, nasionalisme ala Soeharto berbeda jauh dari nasionalisme pembebasan yang diajarkan Bung Karno.
“Nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme pembebasan; nasionalisme Soeharto berubah menjadi nasionalisme penjinakan,” ujar Rifky Zulhadzilillah, dalam keterangan yang diterima jurnalsukabumi.com, Sabtu (8/11/2025).
Menurut mereka, Orde Baru menggeser semangat kerakyatan menjadi nasionalisme elitis yang lebih mengutamakan stabilitas politik dan investasi asing dibanding kesejahteraan rakyat.
Pengkhianatan terhadap Trisakti dan Cita-Cita Revolusi
GMNI menilai Soeharto telah mengingkari ajaran Trisakti Bung Karno, berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
“Ini bukan pembangunan bangsa, tapi pengkhianatan terhadap Trisakti,” tegas Gilang Tri Buana.
Menurutnya, politik luar negeri Orde Baru menjadi subordinatif terhadap Barat, ekonomi nasional bergantung pada utang luar negeri, dan kepribadian bangsa terkikis budaya konsumtif.
De-Soekarnoisasi dan Manipulasi Sejarah
GMNI juga menilai Soeharto menjalankan politik de-Soekarnoisasi dengan menghapus peran Bung Karno dalam sejarah nasional.
Mereka menyoroti tindakan penahanan rumah terhadap Bung Karno hingga wafat, pelarangan ajaran Marhaenisme di kampus, dan perubahan buku sejarah yang menonjolkan narasi kejayaan Orde Baru.
Rezim Otoriter dan Anti-Rakyat
Dalam pandangan GMNI, kekuasaan Soeharto berwatak otoriter dan anti-demokrasi.
“Pemilu semu, pembungkaman media, dan represi terhadap gerakan mahasiswa serta rakyat menjadi bukti bahwa kekuasaan saat itu tidak berpihak kepada rakyat,” kata Rifky.
Mereka menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip dasar nasionalisme kerakyatan Bung Karno.
Pembangunan Tanpa Kemandirian
GMNI menolak klaim keberhasilan pembangunan ekonomi Orde Baru. Menurut mereka, pertumbuhan saat itu bergantung pada utang luar negeri dan investasi asing.
“Pembangunan ala Soeharto hanya menguntungkan segelintir elit, bukan rakyat,” ujar Gilang.
Model ekonomi seperti itu, lanjutnya, menjauhkan Indonesia dari cita-cita berdikari yang diajarkan Bung Karno.
Keadilan Sejarah dan Pelanggaran HAM
GMNI menekankan bahwa pahlawan sejati bukan hanya mereka yang membangun fisik bangsa, tetapi juga menjaga moral, kemanusiaan, dan kedaulatan rakyat.
Tragedi kemanusiaan 1965–1966, korupsi sistemik, dan represi politik di masa Orde Baru dianggap mencoreng nilai kepahlawanan.
“Tak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran,” tegas Rifky, menyinggung pentingnya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu sebelum membicarakan gelar kehormatan.
Sikap Akhir GMNI Sukabumi Raya
Melalui pernyataan ideologisnya, GMNI Sukabumi Raya menegaskan penolakan terhadap pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional karena:
- Menyimpang dari nasionalisme Bung Karno.
- Mengingkari konsep Trisakti.
- Melakukan de-Soekarnoisasi dan manipulasi sejarah.
- Mewujudkan rezim anti-demokrasi dan anti-rakyat.
- Belum adanya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
“Pahlawan bukanlah mereka yang dipuja oleh kekuasaan, tetapi yang membebaskan rakyat dari penindasan. Soeharto bukan simbol kepahlawanan, melainkan cermin kegagalan bangsa dalam menegakkan keadilan sejarah,” tutup Rifky Zulhadzilillah.
Redaktur: Ujang Herlan











