Oleh : Sri Mulyati
(Mahasiswi dan Member Amk)
Sungguh miris ketika mendengar seorang remaja melakukan pembunuhan berencana kepada Balita (usia 5 tahun) yang diketahui anak tetangganya dan sering bermain dengan pelaku. Pembunuhan sadis ini dilakukan ketika korban bermain bersama seperti biasanya di rumah pelaku. Faktor pembunuhan ini dilatar belakangi dari apa yang pelaku tonton.
Seperti yang Dilansir CnnIndonesia “Kami coba dalami catatan yang dimiliki pelaku. Ini gambar salah satu tokoh favorit dia, Slender Man, ini tokoh film horor tentang penculikan remaja”, kata Wakapolres Metrojaya Jakarta Pusat Susatyo. Yusri menambahkan, “Berdasarkan pengakuan dia, dia mengaku suka nonton film horor salah satunya Chucky.” (07/03/2020, CnnIndonesia)
Kita tidak asing mendengar kata “Tontonan menjadi tuntunan” ungkapan ini sangatlah tepat dalam menilai fakta tentang pembunuhan ini. Dapat di identifikasikan bahwa apa yang kita lihat, dengar, dan perhatikan, seolah-olah ikut kedalam cerita yang disuguhkan dalam film tersebut. Jika diulang-ulang, secara tidak langsung cerita tersebut masuk kedalam alam bawah sadar kita. Seperti menghantui kala tidur ataupun memejamkan mata. Terbayang cerita dari film yang kita tonton dan terekam dalam benak.
Pada akhirnya kita cenderung mampu menampilkan gambaran-gambarannya. Bahkan terbawa mimpi dan kadang-kadang mengingat pun hal yang sama. Menjadikannya tuntunan ketika film ini disambungkan dengan kehidupan yang dialami pelaku, mendramatisir kejadian demi kejadian. Informasi yang pelaku dapatkan akan mendorong melakukan hal yang sama seperti tokoh yang ia idolakan.
Tidak memandang bahwa tokoh tersebut melakukan tindakan-tindakan diluar hukum dan membenarkan setiap tindakan tersebut. Kondisi demikian membuat kontruksi berpikir dan bersikap pada diri seseorang. Jelas hal tersebut sangat berbahaya dan merusak jiwanya.
Inilah gambaran kelalaian orang tua ketika tidak mendampingi anak saat menonton sebuah tayangan. Banyak hal tanpa kita sadari bahwa kita telah terperangkap oleh ide – ide Barat yang disuguhkan melalui sebuah tontonan. Keberhasilan ini telah mereka capai yakni menjadikan pola pikir dan pola sikap gaya liberal. Sajian tontonan yang tak layak di konsumsi masih terus mereka luncurkan.Tontonan yang sadistis itu dapat merusak mental (selanjutnya fisik), baik orang dewasa maupun anak. Bagi anak dan remaja tontonan ini pengaruhnya besar sekali akan meninggalkan kesan yang teguh dalam jiwa anak. Kesan ini dibarengi dengan gejolak (remaja) dan tidak dapat mengendalikan dirinya.
Pemerintah seharusnya memperhatikan persoalan ini. Karena memiliki peran strategis dalam memfilter tayang-tayangan yang tidak mendidik bagi masyarakat . Memboikot produk film yang berasal dari Barat atau mana pun yang dirasa dapat menghancurkan generasi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, apakah hal ini telah dilakukan?. Faktanya tidak. Melalui gawai memudahkan anak – anak dalam mengakses film-film tersebut. Jika betul, pemerintah sayang dan peduli terhadap rakyatnya hal ini barang tentu sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum kejadian tersebut .
Bagian yang mengiris hati pula, sang pelaku memiliki latar belakang dari keluarga yang tidak harmonis. Kedua orangtuanya bercerai. Seperti halnya banyak kejadian diluaran sana bahwa perceraian membuat momok yang menakutkan bagi anak. Karena ketidak utuhan keluarga dalam memberikan kasih sayang dan perhatian yang penuh kepada anak. Tidak bersinerginya dalam pengasuhan dan pendidikan disebabkan faktor perceraian. Secara psikologis perceraian dan cekcok dalam rumah tangga menimbulkan hal buruk bagi anak.
Sejatinya seorang anak biasanya mengidolakan ayah-ibunya untuk diambil sebagai pembelajaran dalam hidupnya. Namun, gambaran suram dari kedua orang tuanya menjadikan anak broken home, anak ini biasanya cenderung introvert dan lebih senang menyendiri. Ternyata apa yang dialami pelaku persis seperti itu. Ia sering mengurung diri di kamar selepas pulang dari sekolah. Kemudian, ia mulai menonton aksi sadisme ini.
Faktor keretakan keluarga ini dilatar belakangi faktor ekonomi. Kehilangan kontrol masyarakat dan kontrol negara menjadikan satu kasus berkorelasi dengan latar belakang yang mendukung suatu tindakan keji.
Lebih miris lagi setelah ia melakukan pembunuhan berencana ini, sang pelaku tidak memiliki rasa bersalah ataupun menyesal bahkan sang pelaku merasa puas. “Kami tanya bagaimana Perasaan setelah kejadian ini, dia katakan `saya puas´. Yang bersangkutan akan kami periksa secara psikologis secara mendalam,” kata Yusri saat jumpa media di Mapolres Metro Jakarta Pusat. (07/03/2020, CnnIndonesia).
Liberalisme mencabut rasa kemanusiaan. Tidak adanya penyesalan atas apa yang telah dia lakukan, menegaskan kepada kita bahwa virus liberalisme telah merasuk akal dan hati sang pelaku. Padahal tindakan pembunuhan ini merupakan dosa besar dalam Islam. Terlebih sang pelaku sudah baligh dan sudah mengetahui benar dan salah. Perasaan puas setelah membunuh menjadikan dia seperti psikopat persis di film-film tersebut.
Ketahanan Keluarga Pilar penting Kepribadian Anak
Peran penting ketahanan keluarga sangatlah mendominasi pembentukan karakter anak. Kedua orang tua akan menjadi contoh yang dapat ditiru oleh anak. Shalih atau tidaknya anak tergantung pada keshalihan orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Namun, apadaya jika keretakan terjadi akibat masalah ekonomi yang menghimpit mereka. Sehingga fokus orangtua dalam mendidik anak terlebih telah terjadi perceraian. Ekonomi yang dianut oleh negara ini yakni ekonomi kapitalis yang mendominasi orang-orang yang punya modal tetap berkuasa. Kalangan rakyat jelata tak mampu menyaingi mereka. Untuk bisa makan sehari-hari saja sudah bersyukur.
Solusi tuntas yang dapat menyelesaikan masalah ekonomi adalah membuang jauh-jauh sistem ekonomi kapitalis yang dapat merusak ketahan keluarga. Penerapan ekonomi Islam sebagai solusi hakiki dalam menyelesaikan problem ini. Sistem ekonomi Islam hanya akan mampu terwujud dan di rasakan kesejahteraannya melalui penerapan Islam Kafah yakni khilafah.
Selanjutnya, tontonan yang tidak senonoh yakni aksi sadisme di sajikan dalam film-film semestinya di tutup aksesnya. Agar anak-anak tidak mampu mengakses kembali. Dalam hal ini pemerintahlah yang bertanggung jawab untuk hal yang demikian.Namun pada faktanya, hal tersebut tidak dilakukan karena oleh pemerintah. Tidak adanya keuntungan yang diraup menjadikan pemerintah bersikap abai.
Demikian pula, dalam masalah pendidikan anak-anak sudah seharusnya mendapatkan pendidikan berbasis Islam yang dapat membentuk kepribadian Islam. Tidak hanya mencerdaskan secara kognitif tetapi cerdas secara emosional dan spiritual. Menjadikan insan yang bertakwa . Lagi-lagi hal ini tidak kita jumpai dalam pendidikan saat ini. Pendidikan yang berbasis Islam hanya akan diperoleh dalam penerapan hukum yang kafah melaui institusi negara yakni khilafah.
Wallahu a´lam bishawab
Discussion about this post