Oleh: Dr. H. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd (Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Kebijakan Merdeka Belajar yang diinisiasi oleh Nadiem Makarim saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membawa angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia. Nadiem menawarkan pendekatan baru yang lebih fleksibel dan mengutamakan pemahaman materi, daripada sekadar penilaian berbasis angka. Tujuan kebijakan ini adalah untuk menciptakan pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan siswa dan mendorong guru agar lebih kreatif. Meski demikian, perubahan besar ini memunculkan pro dan kontra di berbagai kalangan, mulai dari guru, siswa, hingga orang tua. Banyak pihak merasa kebijakan ini perlu waktu untuk disesuaikan dengan realitas pendidikan Indonesia yang sangat beragam.
Salah satu kebijakan utama dalam Merdeka Belajar adalah penghapusan Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan Asesmen Nasional (AN). Ujian Nasional yang selama ini menjadi standar kelulusan nasional dianggap terlalu menekankan pada nilai akhir, yang sering kali tidak merefleksikan pemahaman siswa terhadap materi. AN, di sisi lain, lebih berfokus pada pemetaan kompetensi dan karakter siswa secara komprehensif. Namun, tidak sedikit pihak yang menganggap bahwa asesmen ini masih belum mampu menggantikan peran UN secara menyeluruh. Ada kekhawatiran bahwa tanpa standar evaluasi yang seragam, kualitas pendidikan bisa menjadi tidak merata di berbagai wilayah.
Selain itu, Kurikulum Merdeka yang baru diperkenalkan sejak 2022 juga mendapat sorotan tajam. Kurikulum ini bertujuan memberikan keleluasaan bagi guru untuk menyesuaikan metode pengajaran dengan kebutuhan siswa dan kondisi kelas. Meski terdengar ideal, banyak guru yang merasa kurang siap dan tidak memiliki cukup dukungan untuk menjalankan kurikulum ini. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas dan sumber daya yang memadai untuk menerapkan pendekatan ini dengan efektif. Kurikulum Merdeka, meskipun fleksibel, ternyata memerlukan persiapan yang matang agar benar-benar bisa berhasil di lapangan.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, kini dihadapkan dengan tantangan untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan. Salah satu fokus utama mereka adalah melihat kembali sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). PPDB berbasis zonasi sering kali menimbulkan polemik, karena siswa berbakat yang berada di luar zona pilihan bisa kesulitan mendapatkan tempat di sekolah favorit. Sistem ini menekankan pada pemerataan akses, namun di sisi lain berpotensi mengabaikan kualitas dan prestasi individu.
Kebijakan zonasi dalam PPDB sebenarnya bertujuan mulia, yaitu untuk mengurangi ketimpangan kualitas pendidikan di antara sekolah-sekolah. Sayangnya, pelaksanaan kebijakan ini masih menemui kendala di lapangan. Banyak orang tua merasa tidak puas karena merasa bahwa jarak sekolah menjadi satu-satunya penentu. Kebijakan ini, meskipun berhasil dalam beberapa aspek, dinilai perlu kajian ulang untuk memastikan setiap siswa mendapatkan kesempatan yang adil berdasarkan bakat dan kemampuan. Pemerintah harus menyeimbangkan antara pemerataan akses dan pengakuan prestasi individu.
Tidak hanya itu, Presiden Prabowo juga menekankan pentingnya memulai pendidikan sejak usia dini, terutama dalam bidang Matematika. Matematika dianggap sebagai fondasi penting dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan di masa depan. Dengan mengajarkan Matematika sejak TK, diharapkan anak-anak Indonesia bisa lebih siap menghadapi perkembangan ilmu sains dan teknologi. Namun, penerapan konsep ini memerlukan metode yang sesuai dengan usia dini agar anak-anak tidak merasa terbebani. Pendekatan ini, jika dilakukan dengan tepat, bisa menjadi langkah maju dalam membangun keterampilan dasar siswa sejak usia muda.
Dalam menyikapi reformasi pendidikan, Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, memberikan pandangan kritis terhadap pendekatan teknologi dalam pendidikan. Menurut Kalla, reformasi pendidikan tidak bisa hanya bergantung pada teknologi, namun juga harus berakar pada pemahaman akan kebutuhan dan tantangan nyata di lapangan. Teknologi, meskipun menawarkan banyak manfaat, tidak akan efektif tanpa dukungan dari sumber daya manusia yang terampil dan berkualitas. Pendidikan harus menyesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya Indonesia yang sangat beragam. Pandangan ini mengingatkan kita bahwa perubahan pendidikan harus memperhatikan konteks lokal.
Kritik lain juga muncul dari kalangan pendidik yang merasa bahwa kebijakan Merdeka Belajar tidak cukup melibatkan guru dalam proses perumusan dan implementasinya. Guru merupakan ujung tombak dalam pendidikan, dan mereka perlu merasa memiliki serta memahami arah kebijakan ini. Banyak guru yang merasa kurang dilibatkan dalam tahap perencanaan, sehingga kebijakan baru sering kali terasa memberatkan mereka. Jika kebijakan pendidikan ingin berhasil, partisipasi dan masukan dari guru harus menjadi prioritas. Kebijakan yang dibuat dari atas ke bawah tanpa melibatkan guru berisiko menghadapi resistensi di lapangan.
Dengan berbagai tantangan yang ada, pertanyaannya kini adalah apakah pemerintah perlu meneruskan kebijakan-kebijakan yang sudah dirancang oleh Nadiem, atau justru mengkaji ulang agar lebih sesuai dengan kondisi Indonesia. Presiden Prabowo dan Abdul Mu’ti harus mempertimbangkan suara masyarakat dan para ahli sebelum mengambil keputusan yang strategis. Evaluasi yang komprehensif diperlukan untuk mengetahui apakah kebijakan ini benar-benar membawa dampak positif bagi pendidikan. Keputusan yang terburu-buru tanpa kajian mendalam dapat berdampak jangka panjang pada kualitas pendidikan generasi muda Indonesia.
Masa depan pendidikan Indonesia bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mendengarkan dan memahami aspirasi semua pihak yang terlibat. Pendidikan bukanlah bidang yang bisa diperlakukan dengan kebijakan instan, melainkan memerlukan perencanaan matang dan pelaksanaan yang berkelanjutan. Dengan pendekatan yang tepat, reformasi pendidikan bisa membawa perubahan positif yang berarti. Namun, jika tidak diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia, kebijakan pendidikan berpotensi hanya menjadi wacana yang tidak membuahkan hasil. (*).
Discussion about this post