Oleh: Dr. Yana Fajar FY. Basori, S. Ag., M.Si (Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial UMMI Sukabumi).
Pilkada Serentak 2024 dipahami sebagai sistem rezim Pemilu/Pilkada yang terpisah dengan ketentuan UU Pemerintahan Daerah. Diperlukan UU yang tersendiri yang mengatur konstestasi (Pilpres, Pileg, Pilkada dan Pilkades) sekaligus memperkuat otonomi daerah. Sebagai praktik baru, Pilkada Serentak 2024 memperjelas praktik anomali desentralisasi. Urusan jabatan poltik daerah, hampir sepenuhnya ditetapkan DPP.
Perhatian sepenuhnya untuk urusan penetapan calon dan hampir saja perbincangan pengurusan masalah-masalah strategis daerah termasuk masalah sumber-sumber agraria yang ditetapkan dengan kebijakan reforma agraria luput dari perhatian. Padahal, pengurusan sumber-sumber agraria sering kali melibatkan konflik diantaranya Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan pihak-pihak yang berusaha menguasai lahan hutan.
Pemerintah Daerah memiliki peran penting dalam menengahi dan menyelesaikan konflik tersebut. ATR/BPN (2024) menunjukkan bahwa pada tahun 2019-2023 terdapat 112 kasus konflik agraria di Sukabumi yang melibatkan petani dan pengusaha, dengan sebagian besar belum terselesaikan secara adil. Sejak tahun 2014 hingga 2024, konflik agraria di Kabupaten Sukabumi telah menjadi isu krusial yang mempengaruhi stabilitas sosial dan ekonomi daerah. Konflik agraria di Kabupaten Sukabumi meningkat 20% sejak 2014 (BPS Sukabumi, 2024).
Kelembagaan GTRA yang melekat dengan pelaksanaan kebijakan reforma agraria, ditenggarai tidak bekerja maksimal. Dalam konteks MHA, terdapat 15 komunitas MHA di Kabupaten Sukabumi yang hak-haknya belum sepenuhnya diakui (AMAN, 2023).
Mendengar keluhan, menjanjikan penyelesaian secara konstitusional merupakan ritual kontestasi jabatan politik (kekuasaan). Penelusuran terhadap calon bupati/wakil bupati dalan mengelola masalah sumber-sumber agraria, khususnya perlindungan terhadap MHA menimbulkan kekhawatiran.
Respon terhadap keluhan masalah sumber-sumber agraria maupun perlindungan terhadap MHA, hampir tidak terlihat. Janji yang memadai tentang gagasan penyelesaian masalah sumber-sumber agraria khususnya perlindungan MHA oleh para bakal calon bupati dan Partai Politik dalam sosalisasi Pilkada Serentak 2024, tidak terdengar.
Media sosial maupun media off-line riuh rendah oleh sosialisasi sentimen emosional, tageline, jargon, maupun simbol bakal calon dekat dengan rakyat yang diproduksi dan diamplifikasi setiap saat. Kondisi ini menyita terlalu banyak perhatian sehingga menghilangkan kesempatan, energi dan perhatian untuk mengurai masalah sumber-sumber agraria maupun perlindungan terhadap MHA.
Menakar janji para bakal calon bupati untuk memastikan perlindungan kepada MHA dari, misalnya, perebutan penguasaan hutan, sangat diperlukan. Layanan perlindungan Pemerintah Negara Indonesia dan Pemerintahan Daerah khususnya kepada MHA merupakan layanan konstitusional, yang menjadi bagian cita-cita nasional, yaitu: ‘Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan…’ (Pembukaan UUD 1945).
Perlindungan terhadap MHA harus dimaknai sebagai bentuk tanggung-jawab konstitusional untuk: (a) mengakui dan melindungi masyarakat adat sebagai penyandang hak (rights bearer), (b) mengakui dan melindungi masyarakat adat sebagai subjek hukum atas wilayah adatnya, (c) mengakui dan melindungi wilayah adat berkelanjutan. Kehendak tersebut bukan tanpa argumentasi.
Melalui Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, tanggal 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara, melainkan menjadi bagian dari hutan hak. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Wahai, Dengarlah keluhan Berjanjilah. (*).
Discussion about this post