JURNALSUKABUMI.COM – Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 6/PMK.03/2021 sebagai dasar penarikan pajak PPN dan PPh atas penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Dalam Pasal 21 menjelaskan bahwa aturan tersebut akan berlaku efektif pada 1 Februari 2021.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI Fraksi Gerindra DPR-RI Heri Gunawan menegaskan hendaknya peraturan tersebut dapat ditinjau ulang. Pasalnya rakyat masih dibelit kesulitan menghadapi Pandemi Covid-19. Meskipun pada 2020 dan 2021 pemerintah mengucurkan stimulus. Namun tidak semua rakyat menikmatinya.
Perlu diketahui, masih banyak rakyat yang terdampak Pandemi Covid-19 namun tidak tersentuh program bantuan pemerintah. Hal tersebut dikarenakan belum adanya pemutakhiran basis data kemiskinan. Terakhir data tersebut dimutakhirkan pada 2015 dan kemudian menjadi DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial).
Mengingat hal tersebut, maka momentumnya kurang tepat memungut pajak pulsa, kartu perdana, token dan voucher. Apalagi saat ini pemerintah masih memberlakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Pulau Jawa dan Bali dan juga Pemprov Jakarta masih memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Propinsi DKI Jakarta. Mobilitas masyarakat dibatasi. Sekarang bekerja dan sekolah dilakukan dari rumah.
“Masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik dalam rangka Work From Home (WFH) dan belajar daring. Bila pemerintah tiba-tiba memajakinya, itu sama saja pemerintah makin membebani rakyat di saat pandemi,” ujar Heri Gunawan yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Gerindra di Komisi XI DPR-RI ini dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/1/2021).
Lebih lanjut, politisi yang memiliki nama panggilan beken Hergun ini menambahkan, dirinya memahami bahwa pendapatan pajak anjlok di tahun 2020. Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp1.070 triliun meleset dari target APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp1.198,8 trilun atau hanya terealisasi 89,3 persen saja. Namun bukan berarti itu hal tersebut bisa menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token dan voucher.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak tersebut hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen. Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga lebih Rp1.000 hingga Rp.2000. Misalnya membeli pulsa Rp10.000, maka konsumen akan dikenakan harga Rp12.000.
“Kita tidak ingin nanti setelah pemberlakukan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp13.000 ribu untuk pembelian pulsa Rp10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat,” tegas Hergun.
Politisi yang juga menjabat Ketua DPP Partai Gerindra ini juga menambahkan bahwa pemungutan pajak terhadap token listrik ini sangat lucu. Perlu diingat bahwa pemerintahlah yang memaksa rakyat bermigrasi dari model pembayaran pascabayar ke model prabayar atau token.
Saat ini mayoritas konsumen PLN sudah menggunakan model prabayar. Namun bila saat ini tiba-tiba pembelian token akan dipungut pajak itu artinya pemerintah telah menjebak rakyat.
“Pemerintah semestinya berterima kasih kepada rakyat yang sudah berkonstribusi terhadap pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi selama Pandemi. Sektor Infokom mampu menjaga pertumbuhan positif di saat sektor-sektor lain mengalami konstraksi,” papar Hergun menjelaskan.
Lebih lanjut politisi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR-RI ini memaparkan, pada kuartal II-2020 sektor infokom mampu tumbuh 10,83 persen (yoy) dan kuartal III-2020 tumbuh 10,61 persen (yoy). Selain itu, sektor infokom juga memiliki porsi yang cukup besar pada struktur PDB di kuartal II dan III-2020 yaitu masing-masing 4,66 persen dan 4,56 persen, lebih tinggi dibanding sektor jasa keuangan dan asuransi, transportasi dan pergudangan, akomodasi dan makan minum, dan lain-lain.
“Pemerintah tidak boleh berlaku diskriminatif. Di satu sisi mengucurkan berbagai insensif perpajakan kepada perusahaan-perusahaan besar. Namun pada waktu bersamaan makin intensif memungut pajak dari rakyat kecil,” ujar Hergun.
DPR-RI sudah menyetujui UU Cipta Kerja termasuk di dalamnya klaster perpajakan. Untuk itu seyogyanya aturan turunan yang akan dibuat pemerintah harus lebih mengarah kepada ekstensifikasi, bukan intensifikasi. Harus jelas roadmap ekstensifikasi perpajakan, termasuk juga berapa target penambahan wajib pajak baru. DPR-RI prihatin dengan realisasi penerimaan pajak yang selalu meleset dari target dan juga makin turunnya angka tax ratio pajak terhadap PDB.
Dijelaskan Hergun, wajib pajak yang sudah taat pajak tidak terus-terusan ditodong pajak. Semoga dengan ekstensifikasi istilah tradisi “berburu pajak di kebun binatang”, bisa berakhir.
“Alih-alih memajaki pulsa, kartu perdana, token dan voucher yang notabene menjadi hajat hidup rakyat di saat pandemi, sebaiknya ada dasar kebijakan penetapan target pajak kepada masing-masing Kanwil DJP yang lebih realistis untuk dapat diraih. Karena target satu Kanwil Pajak saja tidak tercapai maka secara otomatis raihan pajak dalam rangka menutupi APBN pun akan timpang,” jelas Hergun.
Oleh karena itu dalam rangka membongkar persoalan perpajakan ini, Komisi XI DPR-RI akan melanjutkan pembentukan Panja Pajak. “Rencana tersebut mengemuka sebagai wujud ketidakpuasan atas laporan penerimaan pajak yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Muyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR-RI pada 27 Januari 2021 lalu,” pungkas Hergun.
Redaktur: Mohammad Noor
Discussion about this post