JURNALSUKABUMI.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti aktivitas perusahaan tambang sebagai penyebab utama kerusakan ekosistem yang memicu Banjir Bandang yang melanda Kabupaten Sukabumi pada 2 Desember 2024 lalu.
Selain menghancurkan ratusan rumah dan fasilitas umum, bencana ini juga menyebabkan belasan korban jiwa serta kerugian ekonomi yang tidak sedikit.
Hasil pemantauan WALHI melalui citra satelit menunjukkan bahwa kerusakan tutupan hutan di kawasan pegunungan Guha dan Dano terjadi akibat aktivitas pertambangan.
“Kehancuran hutan itu diduga kuat karena aktivitas pertambangan,” ujar Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna, Minggu (15/12/2024).
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin, menjelaskan bahwa tim investigasi WALHI menemukan kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi di kawasan Guha dan Dano, tetapi juga di berbagai lokasi lain.
Kerusakan ini melibatkan pembukaan lahan untuk tambang emas, tambang kuarsa, dan proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk mendukung operasional PLTU Pelabuhan Ratu.
Salah satu temuan mencolok adalah pembukaan lahan di wilayah Waluran dan Jampang, oleh Perum Perhutani dengan proyeksi 1.307 hektare untuk proyek HTE.
“Tanaman kaliandra dan gamal yang ditanam di lahan ini tampaknya hanya menjadi kedok untuk tambang-tambang ilegal yang merusak ekosistem,” ungkap Wahyudin.
Di sisi lain, WALHI juga mencatat adanya operasi tambang emas oleh PT. Wilton di Ciemas dan PT. Generasi Muda Bersatu di Simpenan, yang berada di kawasan hutan yang tidak tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi sebagai wilayah pertambangan.
WALHI mendesak Polri untuk melakukan penyelidikan mendalam terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga kuat berkontribusi pada bencana ini.
“Kami meminta Polri agar menegakkan hukum lingkungan. Selain itu, perusahaan harus diminta bertanggung jawab untuk memulihkan lingkungan dan mengganti kerugian masyarakat,” tegas Wahyudin.
Senada, Manajer Penanganan dan Pencegahan Bencana WALHI, Melva menolak jika pemulihan lingkungan hanya dibebankan kepada negara, mengingat kerusakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh aktivitas perusahaan ekstraktif.
Ke depan, WALHI berencana menempuh jalur hukum untuk memastikan pihak-pihak yang terlibat tidak lepas dari tanggung jawab.
“Bencana ini harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk tidak gegabah memberikan izin kepada perusahaan ekstraktif hanya demi alasan investasi,” tutup Melva.
Reporter: Ilham Nugraha | Redaktur: Ujang Herlan
Discussion about this post