Oleh: Lia Desi Amelia, S.Pd (Guru Bahasa Indonesia SMK Yasti Cisaat)
COVID-19 dilaporkan masuk ke Indonesia pada 2 Maret 2020 di Depok, Jawa Barat. Pandemi COVID-19 mengakibatkan berbagai perubahan salah satunya di bidang pendidikan. Sejak tanggal 16 Maret 2020 pemerintah sudah menetapkan dan menegaskan di satuan pendidikan untuk melaksanakan pembelajaran secara daring. Salah satu yang menerapkan aturan ini adalah wilayah DKI Jakarta sejak Maret lalu hingga sekarang. Begitu juga di Kota Bandung, Jawa Barat yang memberlakukan kebijakan tersebut di waktu bersamaan.
Kebijakan ini membuat belajar yang sebelumnya bertahap muka dilakukan melalui daring atau online. Dalam surat edaran No 4 tahun 2020, Mendikbud, Nadiem Makarim menyebutkan belajar dari rumah dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna untuk siswa. Kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau pembelajaran daring menuntut guru untuk menciptakan inovasi model pembelajaran yang sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Dalam keadaan pandemi saat ini, teknologi dapat menjadi salah satu alternatif dalam pelaksanaan pembelajaran. Teknologi pendidikan dapat memberikan kemudahan informasi serta penyampaian materi sehingga kegiatan pembelajaran yang dilakukan tidak menjadi kendala. Model pembelajaran yang memanfaatkan teknologi dan dapat digunakan dalam masa saat ini serta banyak dibicarakan adalah blended learning. Model pembelajaran ini merupakan model yang menggunakan dua pendekatan sekaligus. Model ini mengguanakan sistem daring sekaligus tatap muka melalui video conference. Video conference ini menjadaikan pembelajaran tetap dilakasanakan dan pengajar masih dapat berinteraksi dengan peserta didik walaupun tidak secara langsung (tatap maya).
Model pembelajaran ini dapat diterapkan pada masa saat ini, namun dalam pelaksanaannya memang masih didapatkan beberapa kendala, anatara lain adalah tugas-tugas yang diberikan secara daring tidak terkumpul 100%, rata-rata antara 70─80%. Hal ini terjadi karena tingkat kejenuhan yang tinggi dirasakan peserta didik karena terlalu lama belajar di rumah. Masalah selanjutnya adalah pengawasan orang tua yang kurang dalam pelaksanaan bembelajaran daring di rumah. Hal ini dapat dimaklumi karena beban kerja orang tua yang cukup berat apalagi jika orang tua yang mengawasi keduanya bekerja, maka pengawasan pun akan sangat kurang. Lalu ketersediaan fasilitas belajar yang kurang memadai, tidak semua keluarga memiliki fasilitas yang memadai seperti gawai, laptop/komputer dan bahkan kuota. Bisa jadi dalam satu keluarga hanya memiliki satu handphone yang digunakan oleh lebih dari satu orang anak dan juga kadang berbagi dengan orang tua. Permaslahan selanjutnya adalah pemenuhan kebutuhan kuota yang cukup berat, apalagi pemeblajaran blended learning ini mengutamakan video conference. Saat melakukan video conference dibutuhkan kuota sebagai penunjangnya, walaupun kuota dierikan oleh pemerintah pada peserta didik untuk menunjang pembelajaran mereka, namun jika terlalu sering melakukan video conference kuota yang diberikan pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan peserta didik. Permasalahan selanjutnya adalah kreativitas peserta didik tidak berkembang dalam mengerjakan tugas, mereka menjadi terbiasa mencari jawaban pada tugas yang diberikan guru pada gawai mereka tanpa harus bersusah payah berpikir.
Namun, pada masa seperti ini model pembelajaran ini dapat kita gunakan untuk menunjang pembelajaran peserta didik walaupun tidak maksimal namun sebagai pengajar kita dapat memaksimalkannya dengan menjalin komunikasi dengan prang tua agar dapat mengawasi peserta didik ketika mengerjakan tugas yang diberikan oleh pengajar, lalu memberikan motivasi-motivasi yang membangun untuk peserta didik, serta membuat pembelajaran menjadi menyenangkan sehingga peserta didik tidak jenuh dalam belajar walaupun melalui tatap maya. (*).














