Oleh: Leonita Siwiyanti (Dosen di Program Studi Manajemen Retail Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sukabumi)
Pesta demokrasi yang telah dilakukan negara Indonesia selama tiga kali berturut-turut untuk memilih pemimpin negara sangatlah memprihatinkan. Terjadinya perselisihan dan perpecahan diantara keluarga dan kerabat, semua akibat perbedaan pilihan. Munculnya kubu-kubuan, tim sukses yang mengakibatkan adanya kampanye yang terselubung. Banyak juga kegiatan serangan fajar dengan politik uang yang sudah bukan rahasia lagi.
Persiapan untuk ajang demokrasi tersebut memang sudah dilakukan jauh-jauh hari, terkadang setahun sebelumnya. Namun kisah yang sama akan terulang lagi, mungkin evaluasi dari kegiatan pemilu tersebut tidak sampai ke lini yang paling bawah. Begitu banyaknya penyelewengan dan kondisi yang memprihatinkan bangsa kita.
Setelah ajang pemilu usai bermunculan kasus-kasus korupsi akibat kegiatan tersebut. Begitupula para pemangku kebijakan yang dipilih rakyat tidak lagi berpihak kepada rakyat. Miris memang berjuta-juta bahkan milyaran uang berhamburan ketika pesta demokrasi tersebut digelar. Pemilu dan Pilpres yang sudah kita lakukan beberapa periode ini terlalu berdarah-darah, terlalu mahal dan memecah belah rakyat Indonesia. Padahal kita memiliki slogan “Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda tetap satu jua.
Rakyat Indonesia Belum Paham Makna Demokrasi Sesungguhnya
Demokrasi yang diadopsi dari sistem barat yakni masyarakat kita belum paham sepenuhnya makna dan implementasinya. Demokrasi yang digaungkan oleh Abraham Lincoln menyatakan bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun makna tersebut belum sepenuhnya bisa terlaksana dengan baik dan tepat. Fenomena yang terlihat tetap saja yang kuat berkuasa dan yang lemah semakin binasa.
Betapa menyedihkan yang kita lihat dan rasakan, bagaimana pada pemilu terakhir banyaknya orang yang menjadi golput (orang yang tidak mau memakai hak pilihnya). Semua itu karena mereka tidak kenal dengan pemimpin yang akan mereka pilih. Banyak calon-calon legislatif bermunculan menjelang ajang pemilihan. Tokoh baru yang setiap harinya tidak dekat dengan rakyat, tetapi semakin rajin bersosial ketika mencalonkan diri. Mencoba mengambil hati rakyat dengan kedermawanannya tanpa disadari akan membawa kebinasaan.
Hingga carut-marut kasus surat dan kotak suara yang melibatkan banyak pejabat dalam kasus korupsi, serta proses pemilihan yang diduga sudah direncanakan oleh oknum tertentu. Menjadi kabar yang menyedihkan dengan banyaknya para panitia pemilihan yang bergelimpangan jatuh sakit sampai meninggal dunia. Semua karena sistem pemilihan tersebut sangat melelahkan dan akhirnya mengakibatkan jatuh korban yang cukup banyak.
Organisasi Muhammadiyah Dapat Menjadi Contoh Sebuah Demokrasi
Berkaca pada kegiatan yang sudah terlewat, peristiwa yang luar biasa. Muktamar Muhammadiyah yang ke-48 pada tanggal 18-20 November 2022 lalu telah berakhir dengan sangat damai. Sistem pemilu dalam organisasi tersebut semakin teruji kemaslahatannya. Tidak ada perbedaan pilihan, tidak ada kampanye yang terselubung dan tidak ada serangan fajar, bahkan bagi-bagi sembako untuk mengenal para calon pemimpinnya.
Hasil dari muktamar tersebut yakni terpilihnya kembali bapak Prof. Dr. Haedar Nashir sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027. Sosok pimpinan lama yang terpilih kembali menjalankan amanahnya untuk periode kedua. Pemilihan yang berjalan dengan sangat khidmat dan damai di kota Surakarta. Ratusan pimpinan Muhammadiyah sebagai delegasi dari tingkat ranting, cabang, daerah dan wilayah berkumpul di auditorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Sedangkan begitu banyak warga Muhammadiyah yang juga berkumpul di luar auditorium. Mereka hadir dari sabang sampai merauke dengan status khusus sebagai “penggembira’. Mayoritas mereka hadir bukan sebagai peserta atau utusan dari daerah untuk mengikuti sidang pleno. Mereka juga tidak mendukung salah satu calon ketua yang akan dipilih dan tidak juga memiliki hak suara atau bicara. Semua datang untuk merasakan semangat kebersamaan dengan kegembiraan, bertemu teman seperjuangan. Para penggembira tidak perlu merasa khawatir siapa yang terpilih menjadi ketua umum baru, karena proses pemilihan pimpinan pusat Muhammadiyah sangat rasional.
Pemilihan Pimpinan Muhammadiyah yang Patut Ditiru
Proses pemilihan pimpinan diawali dari setahun sebelumnya dengan dibentuknya panitia pemilihan (Panlih). Pada tingkat pusat dengan diketuai bapak Dahlan Rais, Panlih ini mengirimkan surat kepada para pengurus wilayah (di tingkat provinsi) seluruh Indonesia. Setiap wilayah diminta untuk mengusulkan tiga belas nama calon pimpinan pusat. Terkadang calon pimpinan yang diusulkan bisa wilayah mana saja tidak harus dari wilayah mereka sendiri. Yang penting calon tersebut memenuhi kriteria atau syarat yang sudah diatur oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Muhammadiyah.
Pada tahap awal terjaring 216 nama bakal calon pimpinan, lalu Panlih menyeleksi kembali. Hal itu dikarenakan ada juga usulan dari wilayah yang tidak sesuai dengan persyaratan AD/ART. Sehingga muncullah 126 nama bakal calon, tetapi karena akibat pandemi Covid-19 maka meyusut menjadi 120 nama karena sebanyak 6 orang meninggal dunia. Setelah itu mereka dikirimi surat yang menyatakan kesediaan dan mengisi daftar riwayat hidup. Termasuk keaktifan mereka di organisasi, pernah menjadi pengurus apa saja.
Dari 120 nama calon tersebut yang bersedia untuk dicalonkan hanya 94 orang. Kemudian jumlah ini dibawa ke sidang Tanwir untuk disahkan. Pada sidang tanwir di Solo inilah lalu dikerucutkan kembali menjadi 34 nama calon yang dipilih melalui sistem e-voting. Setelah itu baru dilanjutkan dengan pemilihan pengurus pimpinan pusat Muhammadiyah dengan memilih tigabelas nama. Dari tigabelas nama ini, mereka bermusyawarah untuk menentukan ketua umum dan sekretaris umum PP Muhammadiyah.
Dalam pemilihan ketua umum ini tidak selamanya yang memiliki suara terbanyak akan menjadi ketua umum. Secara aklamasi mereka sepakat untuk memilih ketua umum incumbent Prof. Dr. Haedar Nashir menjadi ketua kembali. Setelah itu dari ke-13 orang ini diberi wewenang menambah keanggotaannya. Dalam waktu tidak lebih dari lima menit setelah ditunjuk Ketua Umum PP Muhammadiyah, beliau langsung menunjuk sekretaris umum lama yaitu bapak Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed untuk mendampinginya.
Pada pemilu tersebut pelaksanaannya sangat lancar dan sangat singkat, dimana untuk pertama kalinya pemilihan dillakukan dengan menggunakan e-voting. Memang belum sepenuhnya dengan memakai HP masing-masing peserta, tetapi mereka disediakan bilik suara. Dalam bilik suara itu terdapat komputer yang kemudian peserta tinggal meng-klik pilihannya saja. Prosesnya sangat cepat sekali sehingga langsung tertabulasi menjadi tigabelas nama.
Dengan pemilihan umum seperti ini, banyak kemaslahatan yang muncul. Muhammadiyah bisa menghindari banyak virus yang dapat merusak organisasi. Sehingga tidak akan terjadi seorang tokoh yang tiba-tiba menjadi pimpinan bermodalkan kepopularitasan atau kekuasaan. Pernah terjadi seorang tokoh Muhammadiyah dicoret dari daftar calon pimpinan padahal beliau seorang menteri agama. Hal itu terjadi karena beliau belum pernah menjadi ketua wilayah Muhammadiyah atau ketua majelis otonom di kepengurusan pusat. Beliau adalah bapak Tarmizi Taher. Melihat segala hal yang terjadi maka patutlah kita contoh pesta demokrasi yang sesungguhnya yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah.
Model Kepemimpinan Kolektif Kolegial Muhamamdiyah
Sistem pemilihan ketua ini dapat terlaksana karena Muhammadiyah menggunakan model kepemimpinan dengan sistem kolektif kolegial, bukan kepemimpinan tunggal. Semua itu dilakukan karena beban pimpinan persyarikatan sangatlah berat. Sehingga dengan model ini berarti dapat bersama-sama teman sejawat dalam memimpin dan mengembangkan persyarikatan.
Karena sesungguhnya kepemimpinan Muhammadiyah bukan hanya sebagai leader, tetapi juga harus bisa menjadi seorang manajer untuk memajukan berbagai lini dakwah. Sehingga mereka kadang disebut sebagai orang-orang yang “gila” kerja dan inovator. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Din Syamsudin, “Model kepemimpinan di Muhammadiyah itu hendaknya juga luas dan memiliki keilmuan yang luas. Luwes dan bijak dalam memimpin serta tegas untuk menegakkan keadilan.”
Kondisi ini membuat Muhammadiyah dapat bertahan seabad lebih. Dengan kedispilinan dan kerja keras para pemimpinnya membuat maksud dan tujuan Muhammadiyah dapat terwujud. Tertib administrasi dan tertib organisasi dari akar rumput Muhammadiyah, sehingga bisa berkembang dengan baik. Begitupula dalam hal keuangan, tidak ada keuntungan finansial yang bisa didapat ketika menjabat sebagai ketua umum Muhammadiyah. Tidak mendapat fasilitas khusus, termasuk tidak bisa “menjual” Muhammadiyah dalam pemilu dan pilpres. Hakikatnya mereka telah menandatangani perjanjian dengan Allah Swt untuk mengabdikan hidupnya untuk jalan dakwah.
Pemimpin Sesuai Al-Qur’an
Negara kita yang sangat kaya dengan jumlah penduduk yang besar sebenarnya bisa memilih pemimpin yang tepat. Pemimpin yang dipilih harus bisa membawa kemaslahatan bagi semuanya yaitu dengan selalu merujuk kepada apa yang dilakukan Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Pada hakikatnya kepemimpinan menurut pandangan Al-Qur’an tidak hanya kontrak sosial antara sang pemimpin dengan rakyatnya, tetapi juga ikatan perjanjian antara dia dengan Allah Swt.
Rakyat kita akan makmur dan sejahtera apabila kita dipimpin oleh orang yang dapat memegang amanah, karena jabatan hanyalah titipan Allah Swt. Bukan sesuatu yang harus dikejar atau diperebutkan. Sebab kepemimpinan akan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang digunakan untuk memudahkan dalam melayani rakyatnya. Bukan sebaliknya digunakan untuk peluang memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Sesungguhnya balasan dan upah bagi seorang pemimpin hanya dari Allah Swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia. (*).
Discussion about this post