Oleh: Imas Sunengsih, S.E (Aktivis Muslimah)
“Serapat-rapatnya bangkai ditutupi maka akan tercium pula”. Ungkapan ini benar adanya, sebagaimana peristiwa penemuan satu keluarga yang meninggal dunia dan ditemukan setelah tiga minggu dari waktu kematian mereka. Sesuatu yang tercium bukan hanya bau bangkai dari pembusukan badan keluarga tersebut, justru yang lebih menyengat adalah kebusukan kehidupan sosial di kota besar.
Bagaimana kepeduliaan dan kepekaan dalam bertetangga tampak sudah pupus di kota besar–di Tanah Air saat ini. Kabar mengejutkan tersebut telah menghiasi pemberitaan, dikabarkan satu keluarga tewas.
Seperti yang dikutip dari: TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Satu keluarga yang tewas di Perumahan Citra Garden 1 Ekstension, Kalideres, Jakarta Barat disebut sudah tinggal di lokasi tersebut selama 20 tahun lebih. (Tribunnews. 13/11/2022).
Fakta ini merupakan gambaran masyarakat di sistem kapitalisme saat ini, sikap individualisme muncul dari pribadi masyarakat. Bahkan tidak saling mengenal, walaupun sudah bertetangga lama. Sikap individualisme tampak pada sikap cuek, tidak peduli, tidak ada rasa empati, hanya mementingkan diri sendiri semata, sikap ini tercermin dari masyarakat kapitalisme hari ini. Mereka hidup hanya mementingkan pribadi saja, tidak mau peduli dengan orang lain bahkan tak tergerak untuk membantu orang lain dalam kesusahan.
Peristiwa ditemukannya satu keluarga tewas, dalam keadaan di lambungnya tidak ditemukan sisa makanan, menunjukkan satu keluarga ini kelaparan hingga menemui ajalnya. Ketika fakta ini menyeruak ke permukaan, tetangga sekitar justru menyalahkan keluarga tersebut yang tertutup, tidak ada rasa curiga dan khawatir ketika satu rumah yang tidak menunjukkan kehidupan berhari-hari, jangankan peduli terhadap perut tetangga.
Sebenarnya kehidupan sosial ketimuran yang secara turun-temurun diwariskan nenek moyang di Indonesia tidaklah demikian. Tepo saliro, tenggang rasa sejak dahulu diajarkan sejak dini pada masyarakat di Tanah Air. Bukan hanya ajaran Islam yang menuntun umatnya untuk memedulikan tetangga layaknya saudara bahkan harus dicintai sebagaimana mencintai diri sendiri. Bukan hanya ajaran Islam yang ditinggalkan bahkan adat ketimuran juga hanya tinggal sejarah di Nusantara.
Hal ini terjadi karena negeri ini telah mengadopsi sistem kapitalisme, sistem yang berasaskan sekularisme atau memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga standar kehidupan, baik dan buruk, kebahagiaan dan kesengsaraan, hanya diukur oleh materi semata, akibatnya banyak dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Pada tataran individu menjadi sekuler, lemah iman, mementingkan diri sendiri, tidak peduli melanggar aturan norma ketimuran dan agama sekalipun. Dalam tataran masyarakat sudah tidak ada lagi kontrol yang menyaring, menjaga, menguatkan dalam kebaikan, dan yang lebih fatal dalam tatanan negara sistem kapitalisme ini membuahkan aturan yang hanya berpihak pada para kapitalis belaka sehingga ekonomi rakyat semakin menurun.
Gambaran buram masyarakat di sistem kapitalisme ini, berbanding jauh dengan masyarakat dalam sistem Islam. Dalam Islam, yang dikatakan masyarakat Islam ketika memiliki perasaan yang sama, pemikiran yang sama, dan aturan yang sama yakni Islam. Masyarakat dalam Islam akan sangat peka dengan saudaranya yang lain atau dengan tetangganya, ketika dalam kesusahan, kekurangan, dan butuh bantuan. Mereka sigap saling bahu-membahu untuk menolong, karena Islam mengajarkan bahwasanya dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia orang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa yang memberi kemudahan orang yang kesulitan (utang), maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim dengan lafal ini).
Selain itu Ikatan akidah menjadi ikatan yang kuat untuk mengikat kaum muslim. Islam pun mengatur bagaimana memperlakukan orang kafir, ketika ada orang kafir yang menjadi warga negara membutuhkan bantuan, maka wajib untuk membantunya, baik secara individu, masyarakat, ataupun negara. Ketiga unsur ini saling bertanggung jawab untuk memberikan bantuan, tentu negara tidak akan abai dengan tanggung jawab sebagai pengurus urusan rakyat. Gambaran masyarakat dalam Islam akan sangat harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, mereka hidup penuh dengan tatanan aturan yang sudah ditetapkan oleh Islam. Sistem Islam membentuk masyarakat yang kokoh dari seluruh aspek, tidak akan lahir sikap individualisme.
Selain keimanan individu yang mendorong individu untuk berlomba beramal saleh termasuk berbuat baik kepada tetangga. Sistem Islam juga merekatkan masyarakat dengan kontrol amar makruf nahi mungkar yang saling mengingatkan akan kebenaran dan melarang untuk berbuat maksiat.
Ada tataran negara sistem Islam kafah akan menyokong kehidupan sosial yang aman dan sejahtera. Bukan hanya tetangga yang bertanggung jawab pada perut tetangga lainnya, Umar bin Khattab ketika menjabat kepala negara memastikan sendiri rakyatnya tidak ada yang kelaparan kesusahan dengan berpatroli hingga memanggul sendiri kebutuhan pokok untuk rakyatnya yang kesusahan. Selain menciptakan perekonomian yang pro terhadap rakyat dengan menempatkan kepemilikan sesuai pada haknya, individu, masyarakat, dan negara tidak ada yang tumpang tindih atau saling menzalimi seperti pada sistem kapitalisme yang kacau balau, individu pemilikm modal bisa menguasai kepemillikan milik umat dan negara. Sehingga kesejahteraan rakyat bagaikan bayang-bayang yang semakin dikejar semakin menjauh.
Masyarakat Islam harus segera diwujudkan dengan menerapkan sistem Islam kafah dalam negara khilafah, yang itu harus diperjuangkan oleh seluruh kaum muslimin, dengan segenap daya upaya yang harus dikerahkan hingga terwujud. Semoga Allah SWT segera memenuhi janji-Nya, untuk menjadikan kaum muslimin menjadi penguasa bumi ini untuk menerapkan sistem Islam kafah secara sempurna dalam semua aspek kehidupan. Wallahualam bissawab. (*).
Discussion about this post